[ad_1]

Harakah.idImam Abu Al-Laits al-Samarqandi (w. 373 H.) menerangkan bahwa agar wanita karir atau Muslimah bekerja mendapatkan rejeki yang baik, dia dianjurkan untuk melakukan lima perkara.

Di pusat-pusat ekonomi di Indonesia, setiap hari, jutaan orang hilir-mudik berangkat kerja pada pagi hari. Lalu mereka pulang ke rumah pada sore harinya. Kendaraan umum dan pribadi memenuhi jalur pulang dan pergi. Baik laki-laki maupun perempuan rela bersusah payah menghabiskan waktu di tempat kerja, di perjalanan yang macet, memeras otak serta tenaga. Pada umumnya, itu semua dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tercinta.

Jika alur pemikiran ini diakui bersama, kita sadar bahwa kegiatan mencari rejeki dapat saja bermotif dan berorientasi dunia semata. Secara khusus, para wanita karir yang merupakan setengah angkatan kerja di Indonesia; baik di perkantoran maupun di pabrik-pabrik, terdorong oleh motif ekonomi dan orientasi duniawi. Seorang filsuf Amerika menyebut fenomena ini sebagai “manusia satu dimensi” (one dimentional man). Dimana rasionalitas manusia telah terdominasi oleh kapitalisme konsumerisme dan teknologi.

Sebagai Muslim, tentu kegiatan bekerja idealnya tidak hanya bermotif dan berorientasi duniawi belaka. Rutinitas kita berangkat dan pulang kerja hendaknya dimaknai sebagai proses spiritual atau. Karena, manusia adalah makhluk rohani. Ia memiliki jiwa yang memerlukan makna dan tujuan di luar materi.

Di sinilah, seorang wanita karir atau Muslimah bekerja khususnya, perlu terus-menerus memberikan makna spiritual dan rohani atas aktifitas bekerjanya. Kita mungkin berkubang dalam rapat, perencanaan, lobi, negosiasi, laporan, pengawasan, produksi, pemasaran dan lainnya. Kita mungkin seharian hidup di dunia digital melakukan analisis pasar. Tetapi, ada ruang dalam diri kita yang perlu mendapat perhatian.

Baca juga: Wanita Karir Menurut Islam Boleh Asal Memenuhi Syarat

Di sinilah agama Islam hadir memberi makna atas aktifitas bekerja kita. Wanita karir atau Muslimah bekerja yang bekerja di berbagai bidang pekerjaan perlu memperhatikan bagaimana agar aktifitas duniawi itu terhubung dengan yang rohani. Dengan demikian, aktifitas yang dilakukan akan benar-benar lahir dalam sebuah totalitas diri. Kehadiran kita dalam aktifitas tersebut, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara hati. Fisik dan hati kita itu disatukan oleh kehadiran Tuhan melalui pelaksanaan ajaran agama.

Sebagai manusia rohani, tentu kita ingin rejeki yang kita hasilkan dengan susah payah selaras dengan ajaran agama. Hal itu akan melahirkan ketentraman dalam hati kita. Keselarasan antara kerja dan agama itu akan menghasilkan rejeki yang baik.

Imam Abu Al-Laits al-Samarqandi (w. 373 H.) menerangkan bahwa agar wanita karir atau Muslimah bekerja mendapatkan rejeki yang baik, dia dianjurkan untuk melakukan lima perkara. Dalam kitab Tanbih al-Ghafilin, beliau menulis sebagai berikut:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَكُونَ كَسْبُهُ طَيِّبًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَ خَمْسَةَ أَشْيَاءَ: أَوَّلُهَا: أَنْ لاَ يُؤَخِّرَ شَيْئًا مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ تَعَالَى لأِجْل الْكَسْبِ، وَلاَ يُدْخِل النَّقْصَ فِيهَاوَالثَّانِي: أَنْ لاَ يُؤْذِيَ أَحَدًا مِنْ خَلْقِ اللَّهِ لأِجْل الْكَسْبِ. وَالثَّالِثُ: أَنْ يَقْصِدَ بِكَسْبِهِ اسْتِعْفَافًا لِنَفْسِهِ وَلِعِيَالِهِ، وَلاَ يَقْصِدَ بِهِ الْجَمْعَ وَالْكَثْرَةَ. الرَّابِعُ: أَنْ لاَ يُجْهِدَ نَفْسَهُ فِي الْكَسْبِ جِدًّا. وَالْخَامِسُ: أَنْ لاَ يَرَى رِزْقَهُ مِنَ الْكَسْبِ، وَيَرَى الرِّزْقَ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، وَالْكَسْبُ سَبَبًا

Barang siapa ingin hasil pekerjaannya baik, hendaknya dia menjaga lima perkara. Pertama, dia tidak mengakhirkan kewajiban Allah karena pekerjaan. Tidak pula mengurangi kesempurnaan pelaksanaan kewajiban tersebut. Kedua, dia tidak menyakiti seorang pun dari makhluk Allah karena pekerjaannya. Ketiga, dia meniatkan pekerjaannya itu untuk menjaga diri dan keluarganya dari meminta-minta belas kasihan orang, serta tidak meniatkan untuk menumpuk dan memperbanyak kekayaan. Keempat, tidak memaksakan diri dalam pekerjaan yang di luar kemampuannya. Kelima, tidak memandang rejeki itu datang dari pekerjaannya. Dia hanya memandang rejeki itu berasal dari Allah. Sedangkan bekerja hanya sebagai sebab. 

Jika ditelaah, sejatinya lima pilar rejeki yang baik di atas, adalah rejeki yang diperoleh dengan cara yang selaras dengan tuntunan agama. Salah satu buktinya, ketika kita bekerja mencari rejeki kita tidak meninggalkan kewajiban kepada Allah, seperti beribadah shalat lima waktu. Kita tetap menyempatkan waktu, meskipun pekerjaan sangat padat dan badan sudah teramat lelah, atau make up kita sudah terlalu rapih dan sayang jika dihapus. Jika kita melakukan ini, niscaya ini adalah indikasi bahwa pekerjaan kita sudah selaras dengan ajaran agama.

Terkadang, karena tuntutan karir, kita tega menyakiti orang lain atau makhluk Allah lainnya. Hati nurani kita sudah tidak peka lagi untuk merasakan penderitaan orang lain. Kita masa bodoh atas penderitaan mereka, bahkan jika penderitaan itu bersumber dari keputusan kita. Ini adalah sikap yang berat jika berkaitan dengan karir. Terkadang, kita merasa karir kita lebih penting daripada nasib orang lain atau makhluk Allah lainnya. Pandangan Abu Al-Laits al-Samarqandi di atas mengingatkan kita, jangan sakiti makhluk Allah dengan keputusanmu yang menyengsarakan mereka.

Kita mungkin sering merasa bahwa pada tahap tertentu, kita harus terus mengejar target yang lebih besar. Padahal, itu sudah melampaui kebutuhan kita. Hasrat untuk terus tumbuh secara ekonomi bagi perusahaan seringkali menjadi target yang tak bisa ditawar. Perusahaan yang tumbuh adalah perusahaan yang sehat. Tetapi, agaknya perlu diingat agar kita tidak terjebak dalam lingkaran logika “menumpuk dan memperbanyak kekayaan”. Mungkin perspektif ini berseberangan dengan logika industri dewasa ini. Tetapi, manusia perlu berfikir untuk menahan diri dari mengeksplorasi alam sehingga menghancurkan alam itu sendiri. Tetaplah diri kita dikontrol oleh akal sehat.

Tidak sedikit orang yang sakit, bahkan meninggal dunia karena telah memaksa diri melakukan pekerjaan yang di luar batas kemampuannya. Kita perlu menikmati pekerjaan kita. Itu akan sangat menyenangkan. Dibanding jika kita merasa terpaksa dalam melakukan sesuatu. Nikmati dan jaga kesehatanmu. Inilah pesan al-Samarqandi. 

Terakhir, al-Samarqandi berpesan bahwa kita perlu kembali kepada hakikat ketuhanan. Bahwa rejeki adalah pemberian Tuhan. Bukan pemberian pekerjaanmu. Pekerjaanmu adalah sebab datangnya rejeki. Tetapi, datang tidaknya rejeki yang coba kamu raih melalu pekerjaanmu adalah tergantung keputusan Tuhan. Ada satu waktu dimana anda gagal. Sudah bekerja susah payah, ternyata proyeknya gagal. Ternyata, tidak mencapai target. Anda sudah rajin dan disiplin, tetapi dipecat. Itu semua menunjukkan, rejeki di tangan Tuhan. Bukan di tangan pekerjaan anda. Jika anda sudah yakin bahwa rejeki berasal dari Tuhan, anda perlu bersyukur atas setiap rejeki yang anda terima setiap gajian. Cobalah bersyukur kepada Tuhan, niscaya anda akan menemukan kelegaan dalam hati. Banyak orang yang sudah mencobanya.

Demikian, adab-adab bekerja bagi wanita karir agar rezekinya berkah. Ada yang mengatakan bahwa keberkahan rejeki ditandai dengan ketenangan batin kita. Semoga, anda dapat menikmati pekerjaan dan merasakan ketenangan serta kebahagiaan yang paripurna ketika menerima rejeki pada akhir atau awal bulan.

*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.



[ad_2]

Sumber Artikel KLIK DISINI