[ad_1]

Harakah.idSejatinya pekerjaan sebagai model merupakan pekerjaan yang halal. Kehalalan pekerjaan ini akan hilang jika terdapat perkara-perkara yang diharamkan oleh agama.

Hukum Muslimah Menjadi Model dalam Pandangan Islam. Industri fesyen telah berkembang begitu pesat. Tak terkecuali fesyen muslim. Khususnya busana muslimah. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, sekitar 230 juta jiwa dari total 275-an juta populasi penduduk. Namun demikian Indonesia Indonesia belum menjadi kiblat dunia Islam dalam hal fesyen muslim.

Dalam industri fesyen, bagian yang tak kalah pentingnya dari produksi, adalah strategi penjualan. Penjualan yang efektif memanfaatkan berbagai cara. Penggunaan model menjadi sarana efektif mempromosikan produk fesyen dengan mudah tak dapat dihindari saat ini. Di sini, modelling Muslim menjadi industri pendukung yang menyediakan jasa model.   

Beberapa orang bertanya tentang bagaimana hukum menjadi model bagi seorang Muslimah. Dalam penelusuran penulis, terdapat berbagai jawaban disajikan di situs-situs fatwa di Timur Tengah. Salah satu yang memberikan jawaban terhadap masalah ini adalah Darul Ifta’ Jordania dan Darul Ifta’ Mesir.

Menjadi Model dalam Pandangan Darul Ifta’ Jordania

Dalam situs resmi Darul Ifta’ Jordania, Nomor Fatwa 2740 Tahun 2012, disebutkan pertanyaan, “Apa hukum wanita bekerja di fashion show sederhana, memakai jubah dan jalabiya?”

Dalam fatwa berjudul “Hukm ‘Amal al-Mar’ah Fi ‘Ardhi ‘Aziya’ al-Muhajjabat” (Hukum perempuan bekerja dalam peragaan busana berkerudung), disebutkan bahwa hukum pekerjaan semacam itu adalah haram. Fatwa tersebut mengatakan,

يحرم على المرأة إظهار زينتها أمام الرجال الأجانب؛ لقوله تعالى: (وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا) النور/31وعروض أزياء المحجبات غالبًا ما تتم أمام الرجال الأجانب، وتصاحبه الموسيقى، ويكون منقولاً ومصوَّرًا ليطَّلع عليه الناس، وهذه كلها محذورات شرعية،

Haram bagi seorang perempuan menampakkan perhiasannya di hadapan laki-laki non-Mahram, berdasarkan firman Allah (Dan jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang tampak) (QS. Al-Nur: 31). Pameran busana berkerudung pada umumnya diselenggarakan di depan laki-laki non-Mahram dan disertai iringan masuk. Praktiknya, seseorang berpindah-pindah posisi dan difoto agar dapat ditonton oleh orang-orang. Semua ini adalah bentuk perkara yang diharamkan secara syarak.

Namun demikian, jika pelaksanaan peragaan busana terhindar dari perkara-perkara yang diharamkan, maka hukumnya boleh. Semisal, ketika pelaksanaan peragaan busana para model dilakukan di tengah-tengah kaum perempuan. Pada bagian akhir fatwa disebutkan,

أما إذا خلا عن المحذورات الشرعية، وكان بين النساء أنفسهن، وكانت الأزياء المصنوعة شرعية وملتزمة؛ فلا حرج في ذلك. والله أعلم.

“Adapun jika praktik peragaan busana berjilbab bersih dari perkara-perkara yang diharamkan oleh syarak, seperti ketika ia dilaksanakan di kalangan perempuan sendiri, dan pakaian yang dibuat sesuai syariat, maka tidak mengapa pekerjaan peraga busana itu. Wallahu a’lam.

Menjadi Model dalam Pandangan Darul Ifta’ Mesir

Fatwa senada dikeluarkan oleh Darul Ifta’ Mesir melalui saluran Facebook official. Seperti dilansir Elbalad.news, seseorang bertanya tentang anak perempuannya yang ingin bekerja menjadi peraga busana untuk salah satu produsen hijab. Apakah pekerjaan tersebut boleh atau haram?

Syekh Uwaidhah Utsman, selaku Sekretaris Dewan Fatwa Mesir, memberikan jawaban sebagai berikut,

إنه طالما حافظت البنت على حجابها واحتشامها لا يوجد مشكلة في ذلك وجائز شرعاً.

“Selama sang anak menjaga hijab dan kesopanan, maka itu tidak ada masalah dalam pekerjaan itu, dan pekerjaan itu boleh secara syarak.”

Karena itu, sejatinya pekerjaan sebagai model merupakan pekerjaan yang halal. Kehalalan pekerjaan ini akan hilang jika terdapat perkara-perkara yang diharamkan oleh agama. Bagi kaum Muslimah yang ingin menjadi model, hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan dan adab-adab syariat agar tetap dapat menjalankan profesi tersebut.

Lalu terkait dengan produsen fesyen (tashmim al-aziya’), Syekh Ali Jum’ah pernah ditanya, “Saya bekerja sebagai desainer pakaian. Datang kepada saya orang-orang. Ada yang pakai hijab dan ada yang tidak. Apakah saya berdosa jika saya menjual kepada pelanggan pakaian yang bukan hijab?”

Menanggapi pertanyaan ini, Syekh Ali Jum’ah mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki dua penggunaan. Yang menjadi penekanan dalam hukum syariat adalah pada penggunanya. Bukan pada penjual atau produsennya. Syekh Nuruddin Ali Jum’ah mengatakan, “Ia tidak bertanggung jawab atas penggunaan benda yang diproduksinya. Ketika seorang perempuan memakai pakaian yang tidak selaras dengan konsep hijab, lalu dia memakainya di dalam rumah, atau dia memakainya untuk menyenangkan suami, maka itu tidak mengapa. Jika seorang perempuan tidak berhijab, lalu dia memakai pakaian ini, maka memakainya itu merupakan maksiat bagi pemakainya. Maka penekanannya adalah pada penggunanya.”

Dalam laporan yang diturunkan pada 9 Agustus 2022 oleh situs elbalad.news itu, Mufti yang termasuk dalam jajaran Dewan Ulama Senior ini menganalogikan dengan pena dan pisau. Kedua alat tersebut bisa digunakan untuk perkara baik, bisa pula untuk perbuatan jahat. Pena bisa dipakai memuji orang, atau menjelek-jelekkan orang lain. Pisau bisa digunakan memotong daging atau keju, tetapi di sisi lain, bisa pula dipakai mengancam dan membunuh orang lain. Sekali lagi penekanannya pada penggunanya, bukan produsen atau penjualnya. Penggunaan yang benar atau yang salah.

Demikian ulasan tentang hukum Muslimah menjadi model dalam pandangan Islam. Semoga dapat menambah wawasan kita semua.  

*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.

[ad_2]

Sumber Artikel KLIK DISINI