[ad_1]
Harakah.id – Masa pemerintahan Sultanah Naqiatuddin banyaknya tantangan-tantangan yang dihadapi. Ia menghadapi tantangan melebihi ratu sebelumnya. Salah satunya Agama Kristen yang dibawa oleh Belanda, Portugis, dan Inggris, ditambah dengan adanya kaum Wujudiyah yang menyimpang dari ajaran Islam dan melakukan perlawanan terhadap sultanah Naqiatuddin.
Aceh merupakan daerah istimewa dimana kerajaan Islam lahir salah satunya kesultanan Aceh Darussalam. Aceh juga termasuk daerah paling banyak melahirkan pemimpin perempuan dengan daerah lain di Nusantara seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren, Cut Meurah, dan sebagainya bahkan melahirkan laksamana wanita pertama dalam sejarah yaitu Laksmana Keumalahayati.
Zentgraf dari Belanda mengatakan bahwa Aceh dikenal sebagai “grandes dames” (wanita-wanita besar). Ia juga mengatakan bahwa tidak ada bangsa pemberani saat berperang melebihi bangsa Aceh.
Perempuan-perempuan Aceh melebihi kaum perempuan bangsa lain dalam hal keberanian dan tidak gentar untuk mati dimedan perang demi mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka. Jati diri perempuan Aceh telah mewarnai sejarah Aceh bahkan dimuat dalam karya-karya tulis. Sifat jiwa kepemimpinan dan pejuang Aceh telah terbentuk sejak dari ayunan yang diajarkan oleh ibu mereka saat menyanyikan “do da idi”.
Kerajaan Aceh Darussalam menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam dan tercantum dalam Qanun (undang-undang Kerajaan Aceh Darussalam) yang ditetapkan oleh Sultan Iskandar Muda. Sejarah mengenai perempuan Aceh yang berjuang dengan heroik dan patriotik selalu dikenang oleh sejarah.
Telah tercatat bahwa Aceh dipimpin oleh perempuan (sultanah) selama kurun waktu 59 tahun. Kepemimpinan sultanah di Aceh Darussalam dimulai pada abad ke-7 saat Sultan Iskandar Tsani digantikan oleh Sultanah Safiatuddin dan disusul dengan Sultanah Naqiatuddin, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin, dan Sultanah Sri Ratu Kamalat Syah.
Saat Sultanah Safiatuddin masih hidup, beliau mempersiapkan tiga wanita untuk meneruskan pemerintahannya salah satunya bernama Puteri Naqiah. Sebelum Sultanah Safiatuddin dimakamkan, maka dilantiklah Puteri Naqiah yang diberi gelar sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan merupakan anak dari Malik Radiat Syah berasal dari Aceh. Ia menjadi Sultanah pada 23 Oktober 1675 M dan masa pemerintahannya selama 3 tahun.
Masa pemerintahan Sultanah Naqiatuddin banyaknya tantangan-tantangan yang dihadapi. Ia menghadapi tantangan melebihi ratu sebelumnya. Salah satunya Agama Kristen yang dibawa oleh Belanda, Portugis, dan Inggris, ditambah dengan adanya kaum Wujudiyah yang menyimpang dari ajaran Islam dan melakukan perlawanan terhadap sultanah Naqiatuddin.
Kaum Wujudiyah dimanfaatkan oleh golongan tertentu bertujuan untuk menduduki kursi jabatan kesultanan. Kelompok ini mempengaruhi masyarakat agar perempuan tidak menjadi kepala negara dan sangat menentang kepemimpinan perempuan. Berbagai usaha dilakukan mereka seperti jalur hukum dan tidak membuahkan hasil. Mereka juga menempuh jalur bawah tanah dengan menyebarkan faham kepada masyarakat Aceh mengenai kepemimpinan perempuan dan menurut agama itu tidak sah karena sangat bertentangan dengan nilai keagamaan dan tidak patuh dengan peraturan kesultanan Aceh.
Dalam sejarah tertulis mereka melakukan pembakaran kota Banda Aceh dengan membakar Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Sri Sultan dan kejadian ini tercatat sejarah pada tahun 1677 M.
Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah mengubah pasal-pasal dan sistem pemerintahan dalam undang-undang Meukuta Alam. Sultanah juga menyempurnakan Adat Meukuta Alam. Kekuatan baru dikenal dengan sagi dimana membagi Aceh menjadi tiga wilayah otonomi atau dikenal sebagai (lhee sagoe). Pertama adalah sagi yang terdiri 22 mukim, kedua 26 mukim dan ketiga 25 mukim. Hal ini diharapkan dapat membendung polemik kekuasaan yang dilakukan kelompok Wujudiyah. Terkait hukuman terhadap pencurian dibagi menjadi dua yaitu pencurian terhadap milik kesultanan atau milik umum.
Pada hari Ahad 1 Zulkaidah 1088 (1678 M) Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah meninggal dunia di Banda Aceh. Masa pemerintahan Sultanah Naqiatuddin memperlihatkan bahwa perempuan Aceh bukan hanya sebatas mencari persamaan hak diantara kaum laki-laki, namun lebih dari itu mereka memperjuangkan hak-hak untuk merdeka.
Para pejuang perempuan Aceh membentang dari masa ke masa berjuang untuk membela tanah kelahiran dan baktinya kepada ilahi. Perempuan Aceh adalah sosok yang kuat, dan berjuang dengan semangat jihad fi sabilillah tanpa memperhitungkan harta, tahta, bahkan nyawa sekalipun.
*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI