Harakah.id – Dalam relasi pekerja migran dengan pemberi kerja, perlu dibangun tata hubungan yang bermartabat dan berkeadilan. Islam mengajarkan sejumlah nilai agar pemberi kerja dan penerima kerja dapat berinteraksi dengan baik.
Problem utama para pekerja migran pada umumnya masih berkaitan dengan eksploitasi, pelecehan dan praktik ketenagakerjaan yang tidak adil terhadap pekerja migran di tempat kerja mereka.
Untuk mencegah atau menghilangkan praktik-praktik tidak manusiawi di atas, sudah banyak negara yang telah memberlakukan undang-undang untuk memberikan perlindungan legislatif dasar bagi tenaga kerja mereka. Undang-undang yang diberlakukan sejalan dengan standar perburuhan dasar yang dipromosikan oleh Internasional Organisasi Perburuhan (ILO) dalam bentuk Konvensi dan Rekomendasi.
Perlu dicatat bahwa meskipun undang-undang ketenagakerjaan telah berlaku di sejumlah negara, pekerja di sektor tertentu masih mengalami kekerasan fisik, verbal atau pelecehan psikologis dengan sedikit atau tanpa pertimbangan kesejahteraan bagi mereka, misalnya, standar kerja yang buruk dan tidak aman, jam kerja yang berlebihan, upah yang tidak dibayarkan atau pembayaran yang lebih rendah, kerja paksa, pekerja anak dan eksploitasi seksual. Seluruhnya mengarah kepada proses dehumanisasi terhadap para pekerja migran. Mulai dari perbudakan hingga praktik-praktik tidak adil dan interaksi yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Muncul pertanyaan, bagaimana Islam memandang problematika para pekerja migran ini, khususnya kaum perempuan yang terlibat di dalamnya?
Bagaimana pandangan Islam terhadap praktik perbudakan?
Islam menganjurkan diakhirinya berbagai praktik perbudakan dan Islam mendorong untuk menempatkan manusia ke dalam martabatnya yang luhur, yaitu sebagai manusia yang punya hak-hak yang dijamin dan diperlakukan secara baik sebagaimana manusia pada umumnya.
Ketika perbudakan masih dipraktikkan secara meluas, Islam tidak menghapusnya secara langsung. Tetapi, Islam mengingatkan para pemilik budak agar mereka menghargai dan berbuat baik kepada para budak.
Allah SWT berfirman dalam An-Nisa’ Ayat 36, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki.”
Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan agar manusia menghormati dan berbuat baik kepada sejumlah golongan di masyarakat, salah satunya adalah para hamba sahaya atau kaum budak. Ayat ini menempatkan para budak setara dengan tetangga, teman sejawat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang tua kita. Dimana mereka semua adalah manusia yang memiliki nilai kemuliaan.
Selain memerintahkan agar manusia menghargai dan berbuat baik kepada para budak, Islam juga memberikan langkah-langkah penghapusan perbudakan. Setidaknya, Islam menggunakan 7 cara berikut ini, sebagaimana kita temukan dalam panduan al-Quran dan Hadis. Inilah 6 cara Islam menghapus perbudakan;
- Sanksi pembunuhan tak disengaja (Qs. An-Nisa’: 92)
- Sanki pelaku Zihar (Qs. Mujadalah: 3)
- Sanksi pelanggar sumpah (Qs. Al-Maidah: 89)
- Sanksi bersetubuh pada jam puasa bulan ramadan (HR. al-Bukhari No. 2600)
- Melepaskan perbudakan sebagai amal (Qs. Al-Balad: 11-13)
- Menggunakan dana zakat untuk melepaskan perbudakan (Qs. Al-Taubah: 60)
- Sanksi menampar budak adalah dengan melepaskannya dari perbudakan (HR. Abu Dawud)
Para pekerja migrant jelas bukan budak dalam definisi klasik. Karenanya, tidak boleh ada kelompok atau manusia yang memperlakukan mereka selayaknya kaum budak di masa lalu. Kesewenang-wenangan terhadap para pekerja migran wajib dihentikan. Baik oleh negara, kelompok masyarakat maupun pemberi kerja.
Dalam relasi pekerja migran dengan pemberi kerja, perlu dibangun tata hubungan yang bermartabat dan berkeadilan. Islam mengajarkan sejumlah nilai agar pemberi kerja dan penerima kerja dapat berinteraksi dengan baik.
Bagaimana seharusnya perlakuan terhadap pekerja migran dalam Islam?
Seperti disebutkan sebelumnya, ajaran Islam menyesalkan tindakan tak manusiawi terhadap pekerja dan Islam tidak membeda-bedakan antara pekerja lokal dan migran. Laki-laki maupun perempuan.
Etika dalam bekerja antara lain terkait sikap ideal antara pekerja dan pemberi kerja, kesungguhan kerja, imbalan pekerja yang layak, telah digariskan dalam Islam sejak lama, bahkan sebelum datangnya aturan perburuhan atau deklarasi universal.
Petunjuk ini disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam juga menganggap bekerja sebagai ibadah. Tanggung jawab yang menyertainya sangat besar, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja. Terlepas dari apakah mereka orang lokal atau migran, laki-laki maupun perempuan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Al-Qur’an dan Sunnah telah membawa hak asasi manusia kepada pekerja.
Melihat kesewenang-wenangan yang dihadapi pekerja migran akhir-akhir ini, bahkan di dunia Muslim, baik pekerja migran laki-laki maupun perempuan, sudah waktunya setiap orang merenungkan kembali ajaran agama ini, seperti dipaparkan di bawah ini:
Kesetaraan
Islam mengajarkan kesetaraan di kalangan umat manusia. Allah SWT menegaskan hal ini dalam Qs. Al-Hujurat: 13. Allah SWT berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Menegaskan maksud yang sama, Nabi Muhammad SAW mengatakan, ya ayyuhan nas, inna rabbakum wahid ala la fadhla li ‘arabiyyin ‘ala a’jamiyyin wa li ‘ajamiyyin ‘ala ‘arabiyyin wa la li ahmara ‘ala aswada wa la li aswada ‘ala ahmara illa bit taqwa, inna akramakum ‘indallahi atqakum
Artinya “Wahai umat manusia, Tuhan kalian satu. Ingatlah, tak ada keutamaan bagi bangsa Arab melebihi non-Arab, tidak pula ada keutamaan bagi non-Arab atas bangsa Arab, tidak bagi berkulit merah atas kulit hitam, tidak pula kulit hitam atas kulit merah kecuali dengan ketakwaan. Sungguh, manusia paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan Abu Nu’aim).
Dalam konteks hubungan kerja, sejatinya pekerja migran dan pemberi kerja merupakan manusia yang setara. Tidak dibedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan rasnya. Tidak ada derajat yang lebih luhur di antara salah satu ras atau bangsa. Tidak dibedakan pula, antara laki-laki atau perempuan. Karenanya, ketika ada pemberi kerja yang memperlakukan penerima kerja dengan perlakuan yang tidak manusiawi, maka sejatinya, ia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan. Khususnya terhadap pekerja migran perempuan sebagai kelompok yang lebih rentan.
Anjuran Berbuat “Ihsan” terhadap para pekerja migran
Prinsip dasar ini tertera dalam Qs. An-Nisa’ Ayat 36. Allah SWT berfirman,
Wa’budullāha wa lā tusyrikụ bihī syai`aw wa bil-wālidaini iḥsānaw wa biżil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wal-jāri żil-qurbā wal-jāril-junubi waṣ-ṣāḥibi bil-jambi wabnis-sabīli wa mā malakat aimānukum, innallāha lā yuḥibbu mang kāna mukhtālan fakhụrā
Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki.”
Kerahaman dan penghormatan terhadap pekerja migran menjadi dasar utama dalam hubungan pekerja dan pemberi kerja. Keduanya adalah manusia yang memiliki perasaan, hak dan kewajiban. Ayat memperkenalkan konsep “ihsan”, yaitu bersikap ramah disertai rasa penuh penghormatan kepada pihak lain.
Pemberi kerja tak boleh merendahkan harga diri para pekerja migran
Allah SWT berfirman, “Wa lā tukrihụ fatayātikum ‘alal-bigā`i in aradna taḥaṣṣunal litabtagụ ‘araḍal ḥayātid-dun-yā.” Artinya, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.”
Ayat ini turun berkaitan dengan perilaku sebagian orang-orang jahiliyah yang ketika mereka memiliki budak perempuan, mereka mengirimnya keluar untuk melakukan perzinaan (hubungan seksual terlarang), kemudian mereka mendapatkan uang untuk itu. Uang itu akan diminta oleh pemilik budak. Ketika Islam datang, Allah melarang praktik semacam itu bagi kaum beriman.
Abdullah bin Ubay bin Salul pernah memaksa budak perempuannya melakukan pelacuran. Ia berdalih bahwa keputusan itu akan mendatangkan keuntungan baginya. Jika bukan keuntungan uang dari pelacuran, ia akan mendapatkan dari budak perempuan itu, anak-anak mereka yang bisa dijual di kemudian hari jika budak perempuannya hamil. Al-Quran melarang praktik tak manusiawi tersebut.
Dalam kisah lain dikatakan, bahwa Abu Dzar al-Ghifari mengenakan pakaian yang sama dengan budaknya. Ada yang bertanya kepadanya mengapa demikian. Ia kemudian menjawab bahwa Rasulullah SAW pernah mengatakan, ikhwanukum wa khaulukum ja’alahum allahu tahta aidikum fa man kana akhuhu tahta yahidi fal yuth’imhu min ma ya’kulu wal yulbishu min ma yalbisu wa la tukallifuhum ma yaghlibuhum fa in kallaftumuhum fa a’inuhum.
Artinya, “Mereka adalah saudara-saudara dan pelayanmu. Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu. Barangsiapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberi makan dari apa yang ia makan dan memberi pakaian seperti apa yang ia pakai. Jangan beri mereka beban yang dapat melemahkan mereka. Kalau kalian memberi mereka beban, maka bantulah mereka.” (HR. al-Bukhari)
Dalam ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa perlakuan terhadap pekerja harus sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap harga diri manusia. Tindakan semacam eksploitasi seksual mengandung unsur pemaksaan, suatu tindakan tanpa persetujuan dan kerelaan. Selain itu, eksploitasi merupakan unsur dalam pekerjaan yang dapat merendahkan harga diri manusia. Pekerja migran bukan budak, mereka adalah manusia merdeka yang harus dijaga harga dirinya. Bahkan, seperti dalam hadis riwayat Abu Dzar, Nabi SAW memerintahkan agar kita makan dan memakai pakaian yang sama guna menunjukkan bahwa tak ada perbedaan derajat antara pekerja dan pemberi kerja.
Kerendahan hati dan berterima kasih terhadap pekerja migran
Islam mengajarkan bahwa seorang pemberi kerja hendaknya bersikap rendah hati dan berterima kasih kepada orang yang dipekerjakannya. Keduanya adalah ciptaan Allah. Salah satu dari keduanya ditempatkan dengan kelebihan harta benda. Sedangkan pihak yang lain tidak punya harta benda. Seorang pemberi kerja harus bersyukur karena itu. Ia tidak ditempatkan dalam posisi penerima kerja dalam hidupnya. Para pekerja datang untuk membantu menyelesaikan pekerjaan anda.
Allah SWT berfirman, Wallāhu faḍḍala ba’ḍakum ‘alā ba’ḍin fir-rizq, fa mallażīna fuḍḍilụ birāddī rizqihim ‘alā mā malakat aimānuhum fa hum fīhi sawā`, a fa bini’matillāhi yaj-ḥadụn
Artinya, “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Qs. An-Nahl: 71)
Pada masa jahiliyah, para pemilik budak merasa sombong karena status kekayaan mereka. Mereka merasa bahwa budak yang mereka pekerjakan hanyalah harta benda tanpa melihat sisi kemanusiaan para budak itu. Sikap sombong mereka dikritik keras Allah melalui ayat di atas. Ayat di atas mengajak para tuan untuk bersikap rendah hati dan bersyukur atas karunia Allah.
Dalam konteks hubungan kerja, pekerja migran adalah manusia merdeka. Mereka memiliki persoalan ekonomi. Para pemberi kerja adalah orang-orang yang diberi kelebihan rejeki. Para pekerja migran merupakan orang-orang yang membantu mereka melakukan banyak.
Islam Melarang Perlakuan Buruk Terhadap Pekerja
Eksploitasi pekerja atau perlakuan buruk terhadap mereka dilarang dalam Islam. Ada banyak hadis dari Nabi SAW yang menegaskan hal tersebut. Nabi SAW bersabda,
“Mereka adalah saudara-saudara dan pelayanmu. Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu. Barangsiapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberi makan dari apa yang ia makan dan memberi pakaian seperti apa yang ia pakai. Jangan beri mereka pekerjaan yang tak mampu dikerjakan. Kalau kalian memberi mereka pekerjaan, maka bantulah mereka.” (HR. al-Bukhari).
Dalam banyak riwayat, Nabi SAW memperlakukan orang-orang yang dipekerjakan dengan sangat manusiawi. Misalnya, Zaid bin Harisah. Seorang anak muda yang pada mulanya adalah seorang budak. Nabi SAW memerdekakannya dan mengangkatnya menjadi anak. Bahkan, ia dinikahkan dengan sepupu Nabi SAW. Bilal bin Rabah, seorang budak kulit hitam dimerdekakan dan diangkat menjadi muazin. Anas bin Malik, anak muda yang membantu urusan sehari-hari di rumah Nabi, tidak pernah mendengar Nabi SAW berkata kasar.
Imam al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, berapa kalikah aku harus memaafkan pembantu?” Lalu Nabi SAW terdiam, kemudian dia bertanya, “Wahai Rasulullah, berapa kalikah aku harus memaafkan pembantu?” Nabi menjawab, “Kamu memaafkan sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Al-Tirmidzi).
Menghormati Martabat Pekerja Sebagai Manusia
Prinsip lain yang patut dipegang adalah konsep penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan dan martabat orang lain, apapun keyakinan agamanya. Selanjutnya, sebagaimana Islam menekankan pada konsep persaudaraan, umat Islam tidak boleh menindas, menghina, menghina, memfitnah atau memandang rendah satu sama lain. Islam mengajarkan konsep memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan.
Menjelaskan kemuliaan manusia, Al-Quran mengatakan, “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam” (Qs. Al-Isra: 70).
Al-Quran mengajarkan, untuk menghormati sesama manusia, kita tidak boleh meredahkan orang lain. Allah SWT Berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. (Qs. Al-Hujurat: 11)
Bagaimana cara bersikap terhadap sesama manusia secara manusiawi, Nabi SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia menyukai untuk saudaranya seperti apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pemberi kerja harus memperlakukan penerima kerja secara manusiawi. Itulah prinsip ajaran Islam terkait hubungan pekerja dan majikan.
Melaksanakan kewajiban dengan penuh kesadaran
Islam memerintahkan agar seseorang yang telah menerima pekerjaan harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan jujur, amanah, dan fokus. Kewajiban harus dilaksanakan dengan hati-hati, jujur dan bertanggung jawab. Seorang pekerja harus mendedikasikan kehidupan kerjanya untuk keuntungan majikan, karena ini adalah kepercayaan yang diberikan majikan kepadanya, bahkan jika majikannya adalah seorang non-Muslim. Al-Quran mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhi semua janji kalian” (QS. Al Maidah: 1).
Menegaskan prinsip ini, Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Setiap pekerja adalah orang-orang yang mendapatkan kepercayaan dan tanggungjawab. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Di sisi lain, Nabi SAW juga mengatakan, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu” (HR. Tirmidzi). Riwayat lain menyebut, “Tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama orang yang tidak menunaikan janji” (HR. Ahmad).
Nabi SAW mengaitkan amanah pelaksanaan pekerjaan dengan tingkat keimanan seseorang. Semakin baik dalam menunaikan pekerjaan dan tanggungjawab, semakin tinggi pula tingkat keimanan seseorang.
Demikian ulasan soal perempuan menjadi pekerja migran dalam pandangan agama. Semoga dapat menambah wawasan kita semua.
*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.