[ad_1]
Harakah.id – Ratu Ageng merupakan mantan prajurit estri atau pasukan tempur perempuan yang berjasa dalam melawan kolonial.
Isu kepemimpinan perempuan selalu menjadi perbincangan yang menarik dibahas. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tokoh perempuan yang menjadi garda depan memerankan posisinya dalam mengubah nasib suatu bangsa. Tokoh-tokoh kepemimpinan perempuan berkarakter sudah banyak yang ditemukan khususnya di Indonesia salah satunya Ratu Ageng Tegalrejo yang merupakan pejuang perempuan yang tercatat sejarah.
Ratu Ageng Tegalrejo (1736-1803) merupakan istri dari Sultan Hamengku Buwono I dan memiliki nama kecil Niken Ayu Yuwati. Ia anak dari Kiai Ageng Derpoyudho seorang ulama di Majangjati, Sragen. Kehebatannya dalam ilmu pengetahuan agama, dan dalam bidang militer. Hal ini tercatat bahwa Ratu Ageng merupakan mantan prajurit estri atau pasukan tempur perempuan yang berjasa dalam melawan kolonial.
Ratu Ageng dikenal sebagai sosok istri yang lemah lembut sekaligus perempuan perkasa. Hal ini terlihat saat ia menjadi panglima kesatuan pasukan elit perempuan pengawal raja. Ia juga pintar dalam berkuda dan ketepatannya dalam membidik dan dikenal juga dengan sosok perempuan yang gagah berani dan tangguh. Terlihat saat Ratu mendampingi suaminya dalam perang Giyanti dan kemudian bersama sang suami membentuk kesultanan Yogyakarta.
Ratu Ageng juga terkenal dengan sosoknya yang agamis karena memiliki kemampuan spiritual yang tinggi. Ia dikenal salah satu ulama perempuan Jawa yang disegani karena keilmuannya dan agamanya. Kegemarannya dalam mengkaji kitab-kitab agama dengan belajar bersama ulama-ulama dan mursyid terdekat. Ratu Ageng mencoba keluar dari kesultanan Yogyakarta karena sudah nepotis dengan Belanda, serta sikap anaknya yang dinilai mulai menyepelekan perintah agama.
Ratu Ageng mempengaruhi pengikut setianya untuk menentang kebihakan kesultanan dalam berkoalisi dengan Belanda bahkan tidak sedikit dari mereka mengikuti gaya Glamour Eropa seperti minum Wine, Bir, dan tarian khas Barat. Hal inilah menyebabkan pengikutnya memutuskan keluar dari kerajaan dan menciptakan pola kehidupan baru yang islami. Ratu Ageng Tegalrejo lebih memilih membangun basis kekuatan di Tegalrejo sebuah desa yang terletak di sebelah tenggara keraton dengan menjalani hidup sebagai petani yang taat beribadah serta mendidik Pangeran Dipenogoro.
Ratu juga dikenal seorang ahli strategi perang. Dalam sejarah, tercatat bahwa Ratu Ageng Tegalrejo merupakan nenek buyutnya Pangeran Dipenogoro. Pangeran diasuh oleh Ratu Ageng Tegalrejo baik dalam ilmu agama, tarekat maupun politik sehingga Pangeran memilih hidup di Tegalrejo daripada di Keraton. Ratu Ageng merupakan perempuan utama dalam menginspirasi, mendidik, dan membentuk karakter sang pangeran sehingga pangeran tumbuh menjadi sosok gagah, berani, dan penuh karismatik khususnya saat perang Jawa.
Pangeran Dipenogoro tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan tradisi kepesantrenan dan keagamaan yang kuat. Beberapa tokoh agama di Yogyakarta juga tinggal di Tegalrejo menemani Ratu Ageng seperti Kiai Muhammad Bahwi, Kiai Badaruddin. Pangeran Dipenogoro memiliki nama kecil Raden Mas Ontowiryo Mustahar. Selama bersama neneknya, berbagai ragam teks bacaan dipelajari dan dikaji oleh Pangeran Dipenogoro seperti kitab Tuhfah yaitu berisi ajaran sufisme mengenai tujuh tahap eksistensi.
Peran Ratu Ageng terhadap cucunya terlihat pada saat kondisi Kesultanan Yogyakarta mulai diracuni gaya Eropa oleh Belanda sehingga Ratu menjadi seorang figur yang sangat paham mengenai agama menolak tradisi tersebut dan menyelamatkan pangeran Dipenogoro dari pemahaman Barat dengan membawanya ke Tegalrejo. Berpindahnya Pangeran bersama neneknya mendorong Rat untuk melatih serta mewariskan beragam keterampilan perangnya kepada Pangeran Dipenogoro seperti menembak, memanah, dan berkuda.
Sejak kecil Pangeran Dipenogoro telah dikelilingi lingkungan yang religius, sehingga ibunya sering membawa Pangeran ke Tegalrejo untuk diasuh oleh neneknya. Ratu Ageng mengkader Pangeran Dipenogoro di Tegalrejo untuk belajar agama dan tidak berambisi untuk menjadi seorang raja. Tegalrejo-Yogyakarta sebelumnya merupakan sebuah desa dengan penduduk yang sangat sedikit, tetapi setelah kehadiran Ratu Ageng kawasan ini menjadi ramaidan religius. Penduduk di Tegalrejo umumnya ialah seorang petani, ulama, dan santri tampak para petani giat dalam bersawah, namun tetap menjalankan perintah agama dengan taat.
Kontribusi Ratu Ageng Tegalrejo tidak hanya mendidik Pangeran Dipenogoro, namun juga terlihat saat membangun basis kekuatan Tegalrejo dengan keagaamaan yang baik. Tegalrejo juga dikenal tempat keluarnya ide gagasan dan strategi dalam melawan kezaliman para penjajah Belanda. Ratu Ageng merupakan sosok pemimpin perempuan yang sangat berpengaruh dalam mensukseskan perlawanan terhadap para penjajah sehingga dapat menginspirasi perempuan untuk terus berkembang dan gigih dalam berjuang.
Keharmonisan antara Ratu Ageng dan Pangeran Dipenogoro jelas terlihat saat sosok pembimbingnya wafat pada tanggal 17 Oktober 1803. Saat itu, ia telah kehilangan pembimbing utamanya sejak kecil bahkan dewasa. Namun, kehilangan tersebut tidak membuatnya menjadi lemah dan berlarut dalam kesedihan. Ia terus semangat dan tidak putus asa untuk bangkit dan menjadi lebih dekat dengan rakyat.
*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI