Harakah.id – Ratu Nahrasiyah membuat para kaum perempuan saat itu ikut maju baik dalam bidang agama maupun bidang pendidikan. Harkat martabat para perempuan begitu mulia sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya.
Membicarakan pahlawan perempuan di Aceh tidak akan habis-habisnya. Aceh tidak kekurangan pejuang-pejuang perempuan yang dikenal oleh sejarah. Kisah-kisah yang menginspiratif banyak orang khususnya perempuan untuk terus berkarya dan pantang menyerah.
Setidaknya, ada sepuluh tokoh perempuan Aceh yang dikenal luas di Indonesia dan beberapa telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Salah satu pemimpin perempuan di Aceh yang kisahnya tidak terlalu rinci dan panjang diceritakan yaitu Ratu Nahrasiyah berasal dari Samudera Pasai.
Provinsi Aceh dikenal dengan Serambi Mekkah (The Veranda of Mecca) dan memiliki beberapa kerajaan Islam, diantaranya Kerajaan Perlak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam. Samudera Pasai merupakan nama dari sebuah daerah pesisir utara Aceh (sumatera).
Menurut sejarah, Pasai diyakini sebagai daerah aliran sungai Pasai “kreung Pase” atau kerajaan pra-Islam setempat. Samudera Pasai memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Aceh yang berkaitan dengan peradaban Islam. Pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu batutah sempat mengunjungi Pasai pada tahun 1346 M.
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Samudera Pasai mengandalkan perekonomiannya pada sektor perdagangan maritim karena letaknya sangat strategis yaitu terletak pada Selat Malaka yang merupakan lalulintas perdagangan dunia yang cukup ramai.
Samudera Pasai juga merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Perlak. Samudera Pasai didirikan oleh Meurah Silu yang dikenal dengan Sultan Malik al-Saleh setelah masuk Islam pada tahun 1267 M. Samudera Pasai saat ini masih dapat dijumpai di Kabupaten Aceh Utara, Kecamatan Samudera.
Ratu Nahrasiyah merupakan penguasa kesultanan Samudera Pasai sekaligus ratu perempuan. Saat itu, kesultanan Samudera Pasai diduduki oleh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir yang merupakan ayah dari Sultanah Nahrasiyah. Namun, beberapa versi menuliskan bahwa Nahrasiyah bukan anak Zainal Abidin namun merupakan istri dari sang raja yang meninggal. Sultan Zainal Abidin terbunuh oleh Raja Nakur melalui panah beracun.
Catatan sejarah Ying Yai Sheng Lan, menguatkan pemberitaan adanya pemimpin perempuan muslim pertama di nusantara. Sepeninggal Sultan Zainal Abidin, Nahrasiyah akhirnya naik tahta dan merupakan perempuan pertama di Asia Tenggara yang memerintah sebagai pemimpin. Kisah Sultanah Nahrasiyah ditulis oleh JP Moquette menceritakan seorang Ratu dari Pasai dan keturunan dari Malik As-Shaleh.
Ratu Nahrasiyah dikenal sebagai “Malikah Muazzamah” memiliki arti ratu yang dipertuan agung dan bergelar seorang ratu yang pemurah dan baik hati. Ratu Nahrasiyah berkuasa selama 20 tahun lebih dalam memimpin. Ia dikenal dengan ratu yang arif dan bijaksana dalam memerintah dan penuh kasih sayang kepada masyarakatnya. Ratu Nahrasiyah membuat para kaum perempuan saat itu ikut maju baik dalam bidang agama maupun bidang pendidikan. Harkat martabat para perempuan begitu mulia sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya.
Kendati demikian kisah Ratu Nahrasiyah tidak terlalu panjang dan rinci diceritakan karena tertutup oleh dua raja yang sangat terkenal masa itu yaitu Raja Malikussaleh dan Malikudzahir. Ratu Nahrasiyah telah menggoreskan konsep kesetraan Gender sejak lahirnya Islam pertama di nusantara. Menurut JP Moquette Sultanah Nahrasiyah meninggal pada 27 September 1428 M. Sayangnya, selama memerintah di Samudera Pasai, tidak ada sejarah dan sepak terjangnya dalam memerintah.
Makam Ratu Nahrasiyah terukir surat Yasin dengan kaligrafi yang sangat indah dan ayat Kursi yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 255, dan di nisannya terdapat petikan dari surat Ali Imran ayat 18-19.
Christiaan Snouck Hourgronje terkagum saat melihat sebuah makam peninggalan Samudera Pasai ini. Ia menceritakan kekagumannya dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar Rijksuniversiteit Lainden. Ia mengakui makam Sultanah Nahrasiyah terbuat dari pualam yang indah dan merupakan makam terindah di Asia Tenggara.
Makam Ratu Nahrasiyah terletak di Desa Meunasah Kuta Krueng Kecamatan Samudera. Makam beliau merupakan makam terindah di Asia Tenggara selain Snouck Hagronge, peneliti dari Belanda G.L. Tichelman juga membuat kajian tentang Ratu Nahrasiyah pada tahun 1940. Makam yang indah ini bersaty dengan bagian nisan, dan keseluruhannya terbuat dari pualam yang langsung didatangkan dari Gujarat.
Kehadiran kerajaan-kerajaan di Aceh salah satunya juga meninggalkan berbagai macam warisan cagar budaya berupa Mesjid, Benteng, Makam-makam dan sebagainya. Salah satunya makam Sultanah Nahrasiyah dan Sultan Malikussaleh. Hingga saat ini sebagian situs-situs cagar budaya dijadikan tempat wisata religi oleh masyarakat lokal maupun Manca Ngegara. Makam memiliki nilai religiusitas yang tinggi dalam masyakarat Aceh khususnya makam para ulama atau syaikh yang dianggap karamah.
Makam juga dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai tempat melepaskan nazar (peulheuh kaoy), memulai tarekat (tueng tarekat), memulai pengajian (peuphon beut), dan mencari asal muasal sejarah masuknya Islam di Asia Tenggara. Selain itu, dengan pengunjung makam yang tidak hanya dari domestik bahkan luar Aceh sampai Mancanegara seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Singapore, Jepang, Maroko, dan masih banyak lagi dapat mendatangkan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat setempat.
*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.