[ad_1]
Harakah.id – Nabi tidak hanya membebaskan masyarakat Arab dari aspek ketuhanan yang menyesatkan, tetapi juga membebaskan manusia dari praktek sosial, politik, ekonomi yang hegemonik dan membelenggu.
Berapa minggu terakhir ini, media sosial kita dibumingkan dengan sebuah kasus penindasan anarkis yang dilakukan oleh salah seorang anak pejabat negara kepada salah seorang masyarakat kelas bawah. Tentu berita ini bukanlah berita yang ‘membanggakan’ bagi kita, warga negara Indonesia. Beberapa tokoh agama dari lintas ormas sudah banyak yang ‘mengecam’ hal ini. Pun demikian halnya dengan beberapa tokoh publik seperti Dedi Corburzer misalnya, yang berkali-kali menyindir tindakan anak pejabat yang ‘memalukan’ tersebut melalui channel Youtube-nya.
Saya sebagai seorang mahasantri juga ingin mengekspresikan rasa kekecewaan atas fenomena seperti ini. Sebab, tindakan arogansi yang mengorbankan ‘orang-orang lemah’ bagi saya sangat sulit untuk ditolelir. Maka dari itu, saya ingin meninjau peristiwa ini dari sudut pandang agama. Istilah-istilah agama seperti ‘kafir, fasiq, zindik’ sepertinya sudah tidak lagi relevan dalam merespond peristiwa tersebut. Dari sini, saya akan mencoba membacanya dengan kaca mata lain, Teologi, yang lebih akrab dikenal dengan istilah Ilmu Kalam dikalangan umat Islam.
Dalam sejarahnya, kehadiran diskursus Teologi Islam tidak berangkat dari ruang kosong. Ilmu ini hadir karena terjadi dialektika antara teks dan kondisi umat Islam di era primordial. Hasan Hanafi, seorang pemikir kawakan Mesir, mengistilahkan kondisi seperti ini dengan tarikhiyyatul ilmi al-kalam (historisitas ilmu kalam). Dan, saya kira, ini juga yang dimaksud oleh Michael Foucault sebagai ‘kelahiran sebuah Diskursus’.
Permasalahan-permasalahan teologis yang baru yang tidak ditemukan pada zaman Nabi Saw dan sahabat terut memicu lahirnya berbagai mazhab teologi seperti Qodariah, Jabariah, Muktazilah, dan Asya’irah di dalam tubuh Islam. Tentu hal ini bukanlah sebuah ulasan yang baru, saya pun menyadari hal tersebut. Namun, yang perlu saya garis bawahi adalah tentang ke-bagaimana-an sebuah diskursus Teologi Islam ini hadir.
Sebuah zaman dimana kita hidup dengan zaman lahirnya diskursus teologi islam klasik merupakan ‘dua wadah’ yang berbeda. Masing-masing memiliki rintangan dan kompleksitasnya tersendiri. Kompleksitas dan keruwetan yang dihadapi oleh para Teolog Islam klasik berkutat pada krisisnya persoalan tentang Ketuhanan, kenabian, dan eskatologis—atau saya bahasakan menjadi Teo-Sentris. Akan tetapi, krisis yang kita hadapi sekarang berkutat pada persoalan kemanusiaan, keadilan, ekologis, moralitas dan beberapa persoalan modernitas lainnya.
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk ‘menyingkirkan’ Teologi Islam klasik tersebut. Alih-alih, melalui krisis yang sedang dihadapi dewasa ini, saya mencoba untuk mengulas kembali sebuah sudut pandang teologis salah seorang pemikir Islam asal India, Aghar Ali. Menurut saya, ia berhasil dengan apik melahirkan sebuah argumen teologis vertikal, berangkat dari kemanusiaan menuju ketuhanan dimana pembahasan sentral mengenai aspek ini memang tidak dapat ditemukan di dalam tumpukan-tumpukan karya Teolog Islam klasik. Cara pandangnya yang melihat kemanusiaan melalui ‘kacamata ketuhanan’ patut untuk direnungkan kembali di era krisisnya moralitas.
Reinterpretasi Makna Tauhid
Sebenarnya, apa yang ditulis oleh Asghar dalam bukunya yang berjudul ‘Islam and Liberation Theology’ merupakan benih dari arah baru Teologi Islam (ilm al-kalam al-jadid) yang masih dirumuskan oleh para sarjanawan Timur, mengingat krisis keagamaan yang terjadi di zaman sekarang tidak seperti krisis keagamaan yang terjadi di era Abdul Jabbar, Ibn Fourak, Al-Asy’ari, Al-Juwaini, al-Ghazali, atau bahkan Fakhruddin al-Razi.
Dalam bukunya itu, Asghar menjelaskan bahwa doktrin tauhid memang menempati posisi yang sangat fundamental dalam ajaran Islam. Baginya, kaliamat tauhid la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) tidak hanya melahirkan konsekuensi tauhid dalam ajaran agama, tetapi juga menyangkut konsekuensi moralitas dalam ruang lingkup sosial. Tentu pandangangannya ini adalah pandangan yang sama sekali baru.
Jika kita telisik kembali sejarah nabi Muhammad Saw, Nabi menyebarkan dan mempromosikan ajaran Islam dengan kalimat syahadat tersebut. Memang, makna yang tersurat dari kalimat ini adalah menafikan berhala-berhala yang disembah oleh masyarakat Arab pada waktu itu sebagai Tuhan, dan menetapkan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang haq.
Dalam poin ini, Asghar mengemukakan makna lain. Menurutnya, makna yang tersirat dalam kalimat syahadat tersebut adalah menolak secara tegas pengakuan adanya otoritas dibalik berhala-berhala serta menolak kekuasaan yang terkontruksi secara sosial. Nabi tidak hanya membebaskan masyarakat Arab dari aspek ketuhanan yang menyesatkan, tetapi juga membebaskan manusia dari praktek sosial, politik, ekonomi yang hegemonik dan membelenggu. Saya kira hal ini merupakan elemen penting dalam argumentasi Asghar untuk mengatasi adanya penindasan, terutama dalam kelompok masyarakat biasa yang memiliki basis ekonomi yang rendah.
Selain itu, makna tauhid yang ditawarkan Asghar juga bisa bermakna kesatuan manusia dalam berbagai hal, termasuk didalamnya adalah kelas sosial (classes society). Saat ini, doktrin tersebut seharusnya bisa menjadi benteng bagi umat Islam dari berbagai macam bentuk diskriminasi dalam suku, agama, ras, dan kelas sosial yang menciptakan manusia menjadi terkotak-kotak sehingnya tidak memiliki kesatuan yang harmonis. Menurut Asghar, keesaan Allah menuntut untuk melahirkan kesatuan masyarakat (unity of mandkind).
Struktur sosial yang menindas menurut Asghar harus diubah menuju struktur yang lebih adil. Tentu saja dalam mencapai perubahan ini diperlukan adanya pengorbanan. Misi ini juga yang diemban oleh para Nabi terdahulu. Mereka tidak hanya ‘membebaskan’ sebuah masyarakat dari kesesatan, tetapi juga dari berbagai belenggu penindasan.
Singkatnya, konsepsi tauhid yang dirancang Asghar menuntut adanya kesatuan masyarakat yang bisa berhubungan langsung dengan realitas kehidupan manusia. Konsep ini juga sebenarnya sudah dirumuskan oleh salah satu pemikir Indonesia, Syafi’i Ma’arif, dengan istilah Teologi pemberdayaan masyarakat yang memiliki dimensi praksis sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah Yang Maha Esa. Suatu teologi yang tidak melulu terkonsentrasi terhadap persoalan ghaib, tetapi juga memberikan atensi terhadap pelbagai polemik yang terkait dengan realitas sosial.
Lantas, apakah dengan adanya kasus penindasan, yang sudah saya sebutkan di atas, dan kebobrokan moralitas para pejabat menjadikan Indonesia terjerumus kelubang ke-jahiliah-an? Perlukah sudut pandang teologis seperti ini dibakukan dan dipromosikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah sebagai langkah preventif agar masyarakat muslim tidak terjerumus dalam kebobrokan moralitas di kemudian hari? Saya pun masih merenungkannya.
Artikel kiriman dari Rizki Romdhoni, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI