[ad_1]
Guru menggunduli murid perempuan. Fenomena ini mendadak viral karena dipicu kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru di sebuah sekolah di Jawa Timur, kepada belasan siswi yang dianggap bersalah karena tidak memakai dalaman jilbab. Entah apa yang ada dalam kepala sang oknum guru tersebut, hingga tega melakukan kekerasan kepada siswinya.
Tidak dapat dipungkiri, posisi guru dalam formasi sosial masyarakat Indonesia sangat mulia. Namun, dalam posisi tersebut, seorang guru dituntut menjadi contoh suri tauladan. Namun, di beberapa kesempatan, guru malah terjebak dalam kompleksitas persoalan pendidikan kita.
Titik persimpangan seperti kasus penggundulan para siswi perempuan yang dianggap bersalah karena tidak memakai ciput di atas, tentu akan menghadirkan beragam silang pendapat di masyarakat. Persoalan ciput sendiri tidak terdapat kejelasan hukum, sehingga terbuka sekali ruang perdebatan.
Namun, dari kejadian penggundulan di atas terlihat sekali posisi para siswi masih dianggap faktor minor. Sebutlah pemakaian ciput dianggap wajib, aksi penggundulan tetap saja tidak bisa diterima begitu saja. Sebab, trauma dari kejadian tersebut tidak boleh diabaikan, walaupun posisi para siswi tersebut dianggap bersalah karena telah melanggar.
***
Sekolah, moralitas, dan kelompok yang hidup di dalamnya, seperti guru, murid, hingga pengelola adalah tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan. Menariknya, aturan sekolah kita banyak sekali diawali dengan aturan terkait tubuh, terlebih bagi perempuan. Agama sangat mungkin menjadi faktor utama yang mempengaruhinya.
Moralitas yang dibangun di masyarakat, termasuk di lingkungan sekolah, pada dasarnya adalah sebuah disiplin. Dan semua disiplin memiliki tujuan ganda, yakni mengembangkan keteraturan tertentu dalam tindak tanduk masyarakat; dan memberinya sasaran tertentu sekaligus membatasi cakrawalanya.
Menurut, Emile Durkhiem, filsuf asal Perancis, menyebutkan disiplin mengembangkan sikap yang lebih mengutamakan kebiasaan-kebiasaan, yang di saat bersamaan juga membatasinya. Bahkan, salah satu unsur utama dalam moralitas adalah ikatan individu pada kelompok sosial di mana ia menjadi anggotanya.
Menariknya, kita hari ini, entah disadari atau tidak, hidup di tengah dunia yang telah mengalami sekat-sekat yang semakin bias, tentu menghadirkan persoalan yang tak kalah rumit. Masyarakat kita terus semakin besar, cita-cita masyarakat semakin jauh dari kondisi kedaerahan dan etnis, sehingga cita-cita tersebut semakin abstrak dan semakin umum.
Ditambah, kita hidup dalam bentuk-bentuk kelompok dan masyarakat yang sangat beragam di saat bersamaan. Sehingga, kita hidup dalam beragam standar moralitas yang cenderung beragam pula.
Namun, pengaturan pakaian perempuan telah menjadi perbincangan atau diskursus paling kompleks. Ditambah perubahan formasi dan dinamika masyarakat juga turut mewarnai diskursus ini. Menariknya, di tengah perubahan sosial yang terus bergerak lebih cepat dari apa yang kita bayangkan, pengaturan pakaian perempuan terus menjadi diskursus yang disoroti masyarakat kita.
Alasan kesopanan dan kepantasan terus didiskusikan kembali karena beragam perubahan yang terjadi di masyarakat kita. Kasus ciput atau dalaman jilbab adalah contohnya. Padahal, ciput merupakan unsur yang cukup disoroti di masyarakat kita, namun mungkin sekali tidak dikenal di masyarakat lain, karena kebiasaan, perbedaan model pakaian hingga perbedaan batas kepantasan yang berbeda.
***
Model pakaian perempuan yang terus bergerak juga telah disoroti di tengah semakin biasnya batasan kepantasan dan kebiasaan di beragam kelompok muslim. Kesalehan pun juga dilekatkan pada banyak model-model pakaian perempuan, ketimbang laki-laki. Bahkan, Carla Jones pernah menegaskan bahwa pakaian adalah unsur materialisasi kesalehan perempuan.
Contohnya saja, beberapa hari lalu, diskusi soal kehadiran jilbab bagi pesepakbola perempuan di tengah keamanan dan keselamatannya, atau kehebohan kemunculan abaya yang mengadopsi model pakaian streetstyle yang disokong brand besar adalah bagaimana perbincangan pakaian perempuan jauh lebih kompleks ketimbang agama atau moral belaka.
Ciput saja, misalnya, dalam kasus di atas tentu kita diperlihatkan bagaimana agama dan moralitas perempuan dikaitkan pada pakaian yang mereka kenakan. Jadi, kasus ini sebenarnya harus ditelisik bagaimana ciput hadir dalam pengaturan pakaian para siswi. Namun, pengaturan pakaian perempuan sebagai bagian dari kepantasan dan moralitas harus terus bergerak, bernegosiasi, beradaptasi, hingga menghasilkan konsensus dalam kecepatan yang belum pernah kita hadapi sebelumnya.
Sehingga, jika ciput masih dianggap penting dalam kepantasan pakaian perempuan, maka pihak-pihak sekolah harus terus menghadirkan peraturan yang terus beradaptasi dengan perubahan-perubahan di masyarakat. Memang, disiplin dan moralitas saling terkait, namun perbincangan terkait ciput ini juga memberikan kita pelajaran bahwa trauma akibat penegakan moralitas seharusnya juga mulai diperhatikan.
***
Selain perihal aturan moralitas (baca: disiplin) pakaian perempuan, ada dua hal yang perlu diperbincangkan dari kasus ciput di atas, yakni trauma dan otoritas. Alasan kemanusiaan atau “Guru juga seorang manusia” mungkin mencuat dari kasus penggundulan perempuan di atas. Sebab, guru yang melakukan penggundulan “boleh saja” berdalih telah lelah menegur para siswa tersebut.
Namun, seorang pengawal moralitas atau otoritas moral tersebut tidak bisa atau tidak boleh menggantungkan alasan manusiawi di dalamnya. Menurut Durkheim, seorang otoritas moral harus melampaui dari kodrat-kodrat manusia. Orang-orang itu, menurut Durkheim, bukan hanya orang-orang besar, namun kita juga tentu yakin mereka telah teridentifikasi dalam cita-cita impersonal yang mereka wujudkan dan cita-cita besar kemanusiaan yang telah dipersonifikasikannya.
Guru, telah lama kita asumsikan, adalah sosok paling bijak. Oleh sebab itu, segala perilakunya akan mendapatkan sorotan dan diduplikasi oleh masyarakat sebagai perilaku baik. Di saat bersamaan, guru harus menjadi apa yang disebutkan oleh Durkheim di atas, yakni mampu mengatasi seluruh kodrat manusiawi, dan menjadikan cita-cita kemanusiaan harus terdepan.
Dalam kapasitas apapun, kita tidak seharusnya bisa menerima perilaku jahat dari seorang guru kepada siswanya, termasuk kasus ciput dan penggundulan para siswi tersebut. Sebab, trauma yang dialami para siswi tersebut terlihat diabaikan karena kesalahan mereka. Alasan-alasan kemanusiaan seharusnya tetap melindungi mereka dari aksi berlebihan dari oknum guru.
Di tengah perubahan dan pergeseran yang semakin cepat, kita, termasuk para guru, harus lebih cepat beradaptasi dan terus melihat perkembangan lebih cepat. Diantaranya, apakah kekerasan bisa menyelesaikan persoalan ini? Walaupun, keputus-asaan akibat tidak dapat beradaptasi dengan kemajuan ini seharusnya tidak boleh menghentikan para guru.
Cita-cita kita atas pendidikan yang memanusiakan harusnya tidak boleh dicederai dengan aksi-aksi macam penggundulan kemarin. Sebab, disiplin, moralitas, dan pendidikan seharusnya membawa manusia pada cita-cita besar mereka, yakni kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Guru dan siswa harus sama-sama bekerjasama untuk mewujudkannya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin
[ad_2]
Sumber : Islami.co