[ad_1]
Apakah benar pada dinasti Rasuli di Yaman abad ke-7 terbit sebuah kitab sensus yang tidak memasukkan Ba’alawy sebagai cucu nabi? Pertanyaan ini saya ajukan ke hati setelah mendengar podcast KRT Faqih Wira Hadiningrat (setelahnya disebut Raden Faqih) secara live di channel Gus Fuad Channel berjudul: “Hasil Penelitian: Habib2/Ba’Alawi DNA-nya Yahudi (Gus Fuad Plered & KRT Faqih Wira Hadiningrat)”.
KITAB SENSUS
Awalnya saya tidak tahu kitab sensus apa yang dimaksudkan Raden Faqih. Saya buka Maktabah Syamilah, archive, hingga Noor-Book dan nyaris tidak menemukannya. Setelah mempersempit pencarian kata kunci di Google, akhirnya saya diantarkan pada sebuah pranala yang tidak akrab di peramban saya.
Ternyata, kitab sensus yang dia maksud adalah Thurfat Al-Ashab fi Ma’rifat Al-Ansab (selanjutnya disingkat Thurfah) yang ditulis oleh Sultan III Dinasti Rasuli di Yaman yang bernama Umar ibn Yusuf ibn Rasul (w. 696 H.), atau yang dikenal dengan Ibnu Rosul.
Tidak diketahui ia lahir tahun berapa, namun direkam bahwa ia bertakhta sekitar dua tahun setelah pendahulunya meninggal pada bulan Ramadan 694 H., turun takhta pada bulan Safar 696 H. karena meninggal, dan diganti Al-Mu’ayyad (Kitab Al-Bustan, Ibnu Al-Ahnaf Al-Yamani, vol. I, hlm. 22).
Pada ensiklopedia Thabaqat Al-Nasabin, Ibnu Rasul berada di nomor 319 sebagai pakar nasab yang satu thabaqat dengan Ibnu Thobathoba (w. 623 H.).
Kitab yang disebut Raden Faqih sebagai “kitab sensus” ini pun dimasukkan ensiklopedia Thabaqat Al-Nasabin sebagai kitabnya. Jadi memang benar bahwa Ibnu Rasul adalah penulisnya.
Kitab tersebut tersedia versi digital di archive, dan saya telah mengunduhnya. Jika Anda kurangi halaman mukadimah penerbit, indeks, dan daftar isi, maka isi “kitab sensus” tersebut sebanyak 146 halaman. Tidak begitu tebal, juga tidak bisa disebut tipis, namun bisa dirampungkan sekali duduk sambil menyeruput segelas kopi.
Perlu diketahui bahwa setiap penulis memiliki batasan-batasan (haddan) di setiap bukunya. Jadi tidak boleh asal memberi tafsir karena sebuah buku mengikuti penulisnya. Dan pada halaman pertama ia telah menjelaskan batasan ini secara jelas dan rinci tentang siapa saja yang akan ia catat di dalam bukunya (lihat: Thurfah, hlm. 1).
Seluruh nama yang dicatat dalam “kitab sensus” tersebut (setelah mengurangi nama-nama tokoh Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah) hanyalah: para tokoh-tokoh Dinasti Rasuli, para pejabat, pegawai, dan tokoh-tokoh yang bekerja di bawah rezim pada masa itu dari kalangan asyraf (keturunan Nabi) maupun orang biasa (a’rab).
Seharusnya haddan ini yang menjadi acuan seluruh pembacanya.
Setelah membaca kitab Thurfah awwalan hattal akhir, saya bisa langsung menebak bahwa penilaian Raden Faqih ini berlebihan. Tepat disebut kitab sensus jika dilakukan otoritas Yaman dengan mencatat seluruh (sekali lagi: seluruh!) penduduk Yaman. Namun kitab ini hanya menyebutkan sebagian saja. Disebut kitab sensus yang mencatat seluruh asyraf (keturunan Rasulullah) pun tidak tepat (akan saya jelaskan di bawah, insya Allah).
Dan, kitab sensus macam apa yang memulai dari Nabi Adam segala (lihat: Thurfah, hlm. 2), seperti buku Primbon saja.
Aktivitas mengambil sebagian untuk tujuan tertentu disebut sampling, makanya ia disebut sampel. Bukan sensus. Namun menurut saya seharusnya label untuk kitab ini lebih tepat disebut glosarium, atau kamus ringkas nama-nama.
Mungkin Raden Faqih hanya sabqul lisan saja; yang dimaksud sebagian, tapi yang diucapkan malah seluruhnya (ba’dlu min kull). Dan kekeliruan kecil seperti ini bisa dimaklumi. Namun jika hal ini muncul dari ketidaktelitian dan mengglorifikasi ketidaktahuannya itu, maka tidak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa semoga Raden Faqih banyak belajar.
Pertanyaan kemudian: apakah kitab ini mencatat seluruh nama asyraf pada Dinasti Rasuli? Atau mungkin sebagian asyraf saja yang ia tulis? Ataukah memang tidak ada asyraf sama sekali di Yaman?
KETURUNAN NABI LENYAP DI BUMI YAMAN
Saya mulai dari sebuah kesimpulan terlebih dahulu: glosarium ini tidak bisa dipakai untuk membatalkan nasab Ba’alawy yang secara historis tinggal di Yaman!
Penjelasan rincinya berangkat dari mengukur seberapa benar kaidah berikut ini:
عدم العلم ليس علما بالعدم
Tidak ada informasi bukanlah menjadi informasi tentang ketiadaan
Perlu diingat bahwa kitab ini punya aturan main: hanya mencatat orang-orang yang mengikuti dan berdedikasi pada rezim Dinasti Rasuli. Dari aturan main ini kita bisa menyimpulkan bahwa asyraf dan a’rab yang tercatat di dalam kitab tersebut ialah mereka yang berdedikasi pada dinasti.
Kemungkinan besar Ba’alawy tidak ada satupun yang memiliki kontribusi pada rezim, makanya tidak dicatat dalam Thurfah sebagai apresiasi. Inilah kemungkinan yang paling benar ketika tidak mendapati Ba’alawy yang dicatat di sana.
Namun jika kemungkinan ini tidak memuaskan Anda, akan saya antarkan pada layer kedua.
Mari kita mulai dengan menyusun pertanyaan yang benar terlebih dahulu, karena dengan menyusun pertanyaan yang benar kita sudah menemukan separuh jawaban, demikian menurut Socrates.
Apakah tidak ada keturunan Rasulullah yang hidup di Yaman yang sezaman dengan Dinasti Rasuli?
Dari pertanyaan ini saya bisa mengetahui dua fakta:
Pertama, ternyata Raden Faqih bukanlah seorang pemerhati yang memiliki pisau analisa yang tajam, dan bukan seorang pemerhati yang teliti.
Kedua, jika Anda membaca seluruh halaman yang hanya 146 itu, Anda akan mengetahui bahwa bukan hanya Ba’alawy saja yang tidak dicatat, tapi seluruh asyraf yang tertulis di buku itu tidak ada satupun dari Husaini (jalur keturunan Rasul dari Husain ibn Ali ibn Ali Thalib).
Sekali lagi: tidak ada Husaini di Yaman yang sezaman dengan Dinasti Rasuli yang dicatat di glosarium tersebut.
Pertanyaan benar kemudian: apakah tidak ada Husaini yang sezaman Dinasti Rasuli yang hidup di Yaman?
Cara analisis yang benar untuk menjawab ini tentu saja dengan muqabalah (membandingkan) informasi yang tercatat dengan sejarawan atau nassabah yang sezaman dengan Ibnu Rasul. Dan ketika mencari data tentang masa kepemimpinan Ibnu Rasul, saya mencukupkan Syaikh Ali ibn Hasan Al-Khuzari sebagai pembanding.
Ia wafat pada 812 H., dan hidup sezaman dengan Ibnu Rasul. Dari tangannya terbit sebuah karya bernama Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah, sebuah ensiklopedia sejarah yang terjadi di masa kepemimpinan Rasuli di Yaman.
Pada tahun 665 H., ia mencatat peristiwa wafatnya seorang ahli fikih mazhab Hanafi di Yaman bernama Abu Bakr ibn Isa Al-Asy’ary. Kebanggaan ahli fikih ini belajar dari seorang Husaini yang bernama Ustman ibn ‘Atiq Al-Husaini, orang yang mempertahankan Mazhab Hanafi di Yaman, bahkan disebut “jika ia tidak ditemukan maka mazhab Hanafi akan punah di bumi Yaman” (lihat: Thurfah, hlm. 155).
تـفـقـه بـالـشـريـف عثمان بن عتيقة الـحـسـيـنـي، وكان أوحد أهل عصره اجتهاداً في طلب العلم، حتى قيل: “لو لم يوجد لمات مذهب أبي حنيفة في اليمن
Dia (Abu Bakr ibn Isa) belajar kepada Syarif Utsman ibn ‘Atiqah (Al-‘Atiq), dan dia adalah orang lawan tanding di masanya dalam keseriusan mencari ilmu. Bahkan dikatakan: jika ia tidak ditemukan (untuk mengambil ilmunya), maka mazhab Hanafi akan punah di bumi Yaman.
Tidak diketahui kapan orang besar Al-Husaini ini wafat. Namun jika Abu Bakr ibn Isa belajar di usia 20-an, kemungkinan besar gurunya hidup di zaman Dinasti Rasuli.
Pada tahun 666 H., ia mencatat peristiwa pemakaman dari seorang cicit imam besar mazhab Syiah Zaidiyah yang bernama Yahya ibn Muhammad. Ia diberi julukan Al-Siraji, nisbat kepada nama kakeknya yang bernama Siraj. Dan Siraj inilah yang dicari-cari pengikut Syiah untuk dijadikan imam karena ia keturunan Imam Husain, untuk kemudian ia adalah seorang Husaini (lihat: Thurfah, hlm. 307-308)
وفي هذه السنة توفي السيد الأجل الفاضل يحيى بن محمد بن أحمد بن علي بن سراج بن الحسن السراجي، نسبة إلى جده سراج، أحد الأشراف الحسيـنـيـيـن، وكان إماما كبيرا في مذهب الزيدية
Di tahun ini (666 H.) telah wafat Tuan Besar Yahya ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Siraj. Ia diberi jululan Al-Siraji, nisbah kepada kekeknya yang bernama Siraj. Siraj ini ialah salah satu orang mulia dari keturunan Imam Husain.
Jika Ibnu Rasul wafat pada tahun 696 H., maka jarak kematiannya dengan Imam Yahya ibn Muhammad adalah 30 tahun. dan rentang sependek itu besar kemungkinan Yahya Al-Husaini dan Ibnu Rasul hidup sezaman di Yaman.
Pada 690 H., ia mencatat pemakaman dari seorang Husaini yang memiliki kakek pembawa tasawuf dari Irak ke Yaman, bernama Ali ibn Umar Al-Ahdal. Ia adalah cucu dari Muhammad yang dikenal orang Yaman sebagai pembawa tasawuf (lihat: Thurfah, hlm. 263).
وفيها توفي الشيخ أبو الحسن علي بن عمر المعروف بالأهدل، وكان كبير القدر، شهير الذكر، يقال: إن جده محمد قدم من العراق إلى اليمن على قدم التصوف، وهو شريفٌ حُـسَـيْـنِـيٌّ
Di tahun ini (690 H.) telah wafat Syaikh Abu Al-Hasan Ali ibn Umar yang dikenal dengan sebutan Al-Ahdal. Ia adalah orang mulia dan terkenal. Kakeknya yang bernama Muhammad datang dari Irak ke Yaman membawa tasawuf, dan dia adalah seorang Syarif dari jalur Husaini.
Al-Ahdal wafat empat tahun sebelum Ibnu Rasul naik takhta sebagai Sultan Ketiga Dinasti Rasuli. Orang bodoh yang mampu matematika sederhana pun bisa menilai bahwa antara Al-Ahdal (w. 690 H.) dan Ibnu Rasul(w. 696 H.) ini sezaman dan sama-sama hidup di Yaman.
Sebagai tambahan pendukung: dalam Al-Suluk karya Al-Janady (w. 732 H.), yang hampir pasti pernah hidup di masa Dinasti Rasuli berkuasa, ia mencatat lebih daru tujuh orang Husaini yang tinggal di Yaman (saya belum bisa memastikan jumlah totalnya karena kesibukan hidup membuat saya menghentikan telaah Al-Suluk).
Jika satu-dua orang Husaini tidak dicatat, mungkin bisa disebut sabqun (kekeliruan kecil). Tapi jika sudah lebih dari tiga, padahal mereka ada di Yaman dan sezaman dengan Ibnu Rasul, seharusnya mengantarkan seorang peneliti bahwa di sini ada pola.
Pola itulah yang mengantarkan kita kepada pertanyaan benar selanjutnya: kenapa Husaini tidak ada satupun yang dicatat dalam glosarium Thurfah, padahal mereka ada di Yaman, dan sezaman?
Spekulasi berikut ini tidak bisa dipastikan, karena berangkat dari penafsiran saya sendiri. Saya menciptakannya untuk mengimbangi Raden Faqih yang suka berspekulasi dengan Gus Fuad Plered dalam banyak hal.
Konon, Dinasti Rasuli ini bermazhab Sunni. Dan lazim diketahui bahwa waktu itu kompetisi teologis antara Syiah-Sunni cukup rumit dan berdarah.
Jika Anda berpikir seperti apa yang saya pikirkan, seharusnya bisa memaklumi kenapa orang-orang yang berdarah Husaini (yang dicari-cari untuk dijadikan Imam oleh Syiah) tidak ditulis di dalam kitab seorang Sunni.
Namun jika spekulasi ini meleset, dan Dinasti Rasuli bukan pengikut Sunni maupun Syiah, bukankah di Yaman terdapat tokoh yang dikenal “jika ia tidak ditemukan (untuk belajar darinya) maka mazhab Hanafi akan punah di bumi Yaman”? Kurang historis apa tokoh ini sehingga tidak cukup layak untuk ditulis?
Ditambah, di masanya hidup seorang keturunan yang membawa tarekat di Yaman (bahkan dikenal jadzab dan dipandu Nabi Khidir as.), namun kenapa tidak ia catat juga?
Bukankah pola ini membuat Anda penasaran: alasan luar biasa macam apa yang mendorong Ibnu Rasuli untuk tidak mencatat tokoh-tokoh yang punya jejak historis di Yaman?
Tafsiran saya: Imam Husain adalah puncak (ushul) dari seluruh klan di bawahnya (furu’), termasuk Ba’alawy. Jika ushul-nya saja tidak ditulis Ibnu Rasul, padahal mereka ada di Yaman dan hidup sezaman dengan Ibnu Rasul, apa yang membuatmu berharap furu’-nya juga ditulis?
Jika spekulasi ini meleset semua, maka jalan satu-satunya ialah kembali kepada “aturan main penulis buku” di atas, bahwa ia hanya mencatat pengikut yang mengabdi kepada rezim saja, dan seluruh Husaini bukanlah di antara mereka.
Dari sini kita bisa menyimpulkan: kitab Ibnu Rasul bukanlah kitab sensus yang layak untuk membatalkan nasab Ba’alawy.
Rumail Abbas,
GUSDURian, Historian, Peneliti Budaya Pesisiran
Tinggal di Twitter: @Stakof
[ad_2]
Sumber : Islami.co