[ad_1]
Sejauh ini, pembicaraan soal pentunjuk (hidayah) di kalangan kebanyakan muslim mungkin masih dimaknai secara terbatas sebagai petunjuk bagi seseorang untuk memeluk Islam. Tentu tidak salah berpendapat seperti itu. Namun, apakah dengan memeluk Islam, hidayah itu sudah final? Tentu tidak, karena hidayah (petunjuk) itu senantiasa berjalan menemui para pencarinya.
Ihdinas shirothol Mustaqim yang kita baca setiap shalat menunjukkan bahwa kita terus membutuhkan petunjuk itu. Ini menunjukkan bahwa ada petunjuk-petunjuk yang sering kita lupakan sehingga petunjuk itu harus sering kita minta, dan juga ada misteri di hari esok yang barangkali kita belum tentu ingat petunjuk itu.
Syaikh Ahmad Mustafa al-Maraghi (w. 1952 M) memberikan penafsiran bahwa petunjuk (hidayah) di dalam Ihdinas shirothol Mustaqim ini merupakan petunjuk yang akan sampai kepada orang yang senantiasa mencari.
Petunjuk-petunjuk ini kemudian dibagi ke dalam lima bentuk oleh al-Maraghi di dalam Tafsir al-Maraghi. Pembagian itu adalah:
- petunjuk ilham (al-ilham),
- petunjuk indra (al-hawas),
- petunjuk akal (al-aql),
- petunjuk beragama dan bersyariat (al-adyan wa al-syarai’),
- petunjuk pertolongan dan bimbingan (al-ma’unah wa al-taufiq) (Al-Maraghi, 1946, vol. 1 p. 34).
Tentang petunjuk ilham, al-Maraghi menggambarkan petunjuk ini sudah dimiliki manusia sejak lahir, seperti: bayi yang baru lahir tanpa belajar dapat menyusu pada ibunya; bayi tanpa diajari menangis ia akan menangis agar keinginannya terpenuhi, dan seterusnya. Petunjuk ilham ini tidak hanya dimiliki manusia, akan tetapi juga dimiliki oleh makhluk Allah yang lain, seperti binatang, tumbuhan, dan makhluk-makhluk Allah yang lain.
Selanjutnya petunjuk indra, yaitu petunjuk-petunjuk berupa alat-alat indra. Petunjuk ilham dan indra dimiliki oleh manusia dan binatang, akan tetapi binatang dalam kebiasaannya memiliki ketajaman indra yang lebih tinggi dibanding manusia. Petunjuk indra ini belum cukup mengantarkan manusia pada kebanaran, karena kemampuan indra terbatas dan kadang menipu, misalnya mata melihat objek yang jaraknya jauh lebih kecil dari sebenarnya; penglihatan mata yang terbatas ketika dalam kegelapan, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Untuk itulah Allah melengkapi petunjuk ini dengan petunjuk akal.
Petunjuk akal ini melengkapi petunjuk-pentunjuk sebelumnya, ilham dan indra. Petunjuk ini hanya dimiliki manusia dengan daya kreatif dan inovatifnya. Dengan akal, manusia juga mampu mengoreksi, mengonfirmasi, dan mengafirmasi kerja-kerja indra. Namun, terkadang dengan akal pula manusia melakukan manipulasi-manipulasi, sehingga dibutuhkan petunjuk untuk mendayagunakan akal secara baik dan benar.
Selanjutnya petunjuk beragama dan bersyari’at. Memang akal manusia jika diberdayakan dengan baik dan benar akan menghasilkan manfaat yang besar. Namun, terkadang manusia melakukan manipulasi-manipulasi dengan akal yang ia punya, dan manipulasi-manipulasi ini akan menghasilkan bahaya yang besar pula jika terus dibiarkan. Untuk kepentingan tersebutlah petunjuk beragama dan bersyari’at diperlukan.
Dalam konteks petunjuk beragama dan bersyari’at ini al-Maraghi mengutip ayat-ayat al-Qur’an, seperti:
وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ
Artinya, “Serta kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, yaitu kebaikan dan kejahatan” [QS. al-Balad-10],
وَاَمَّا ثَمُوۡدُ فَهَدَيۡنٰهُمۡ فَاسۡتَحَبُّوا الۡعَمٰى عَلَى الۡهُدٰى
Artinya, “Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan/kesesatan daripada petunjuk itu” [QS. Fussilat-17].
Namun, meskipun demikian, kadang dengan agama, manusia justru melakukan kezaliman, membuat kerusakan, dan hal-hal yang lain yang justru membawa bahaya (mudharat).
Mendayagunakan pentunjuk ilham, indra, akal, dan agama untuk kebaikan sangatlah mungkin dicapai, namun sifat lalai manusia kadang tak menghiraukan petunjuk-petunjuk itu. Untuk itulah manusia memerlukan petunjuk pertolongan dan bimbingan (al-ma’unah wa al-taufīq), yang oleh al-Maraghi dikatakan bahwa petunjuk ini memiliki tujuan li al-sairi fī tharīqi al-khairi (agar senantiasa berjalan di jalan kebaikan) yang berujung pada al-ṣiraṭa al-mustaqīm yaitu jalan yang memberikan kebahagian dunia dan akhirat.
Tentunya lapisan-lapisan petunjuk tadi harus didayagunakan untuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan itu harus diupayakan serta diulang-ulang, karena petunjuk tidak akan menghampiri orang-orang zalim (aniaya), kafir (menutup diri/ingkar dari kebenaran), fasik (berbuat kerusakan), kaida al-khainin (tipu daya orang-orang yang berhianat), kadzibun (pendusta), dan musrifun (orang yang melampaui batas).
Wallahu la yahdi al-qauma al-zhalimīn, Wallahu la yahdi al-qauma al-kafirin, Wallahu la yahdi al-qauma al-fasiqin, wa Annallaha la yahdi kaida al-khainin, innallaha la yahdi man huwa kadzibun kaffar, innallaha la yahdi man huwa musrifun kadzdzab.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu mendayagunakan petunjuk ilham, indra, akal, dan agama untuk hal-hal baik, tentunya dengan mengharap pertolongan dan bimbingan (al-ma’unah wa al-taufīq) dari Allah. Ihdinashirothol mustaqim. Wallahu a’lam.
(AN)
[ad_2]
Sumber : Islami.co