[ad_1]
Pasca Pilpres 2014, kita mulai familiar dengan diksi “Buzzer.” Sejak itu, kata ini sepertinya memiliki indikasi negatif, semacam persoalan besar di tengah bangsa Indonesia. Namun, Buzzer memang menjadi persoalan di banyak tempat, tidak hanya Indonesia. Bahkan, di beberapa Negara, Buzzer mampu menjadikan para populis sayap kanan terpilih. Pilpres Brazil adalah salah satunya.
Bagaimana Pilpres kita hari ini?
Beberapa waktu lalu, saya bersama teman saya sedang berdiskusi sembari mengamati berbagai linimasa berbagai platform media sosial. Menariknya, kami mendapati fakta bahwa keterlibatan para Buzzer dan Influencer ini tidak hanya terang-terangan mendukung salah satu pasangan calon(Paslon) namun mereka juga tergabung pada kalibrasi baru, ketimbang segregasi tahun 2019 lalu.
Tahun 2019 lalu, penggiringan opini publik yang dilakukan oleh Buzzer dan Influencer ini masih terbilang kampanye senyap. Mereka hanya bicara sosok calon Presiden RI yang merek dukung, dengan sesekali menyerang calon lain. Menariknya, polarisasi yang semakin menguat di tahun 2019 tersebut juga mendorong kelompok Islamis mendukung salah satu paslon.
Hari ini, kelompok Islamis tidak terpusat pada satu paslon saja. Menariknya, model konten mereka untuk menggiring opini publik masih terbilang sama. Apa itu?
***
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengulik kembali bagaimana eksistensi Buzzer di lanskap perpolitikan Indonesia? Kemampuan Buzzer dalam mempengaruhi opini publik dianggap “ampuh” untuk meraup suara para pemilih. Selain itu, mereka juga biasanya hadir dalam perdebatan publik yang dianggap merugikan atau menurunkan popularitas calon yang mereka dukung.
Otoritas bahasa kita kemudian menerjemahkan Buzzer dengan “pendengung.” Saya sepakat dengan terjemahan ini. Sebab, kebiasaan mereka dalam mengandalkan kemampuan “bersuara” lebih bising, ketimbang narasi yang disodorkannya. Di titik ini, kebenaran bukan karna benar, tapi karna terus-menerus dijejalkan ke otak kita sebagai pengguna media sosial.
Influencer dan Buzzer dari kalangan Islamis pun tak jauh berbeda. Bahkan, mereka biasanya menambahkan narasi agama, sehingga kritik atau menyangkal apa yang mereka sebar tentu menempatkan para kritikus dalam posisi dilematis. Sebab, kritik konten mereka biasanya diasosiasikan pengkritik narasi suci agama. Bisa kita bayangkan, “Nyanyian” para Buzzer Islamis pun tak terbendung biasanya, khususnya dalam menggiring atau mengaduk-aduk emosi umat.
Selain itu, mereka biasanya menghadirkan narasi moral kepada sosok yang didukung. Kita mungkin masih ingat bagaimana Anies Baswedan diendorse oleh kelompok Islamis, termasuk pada influencer dan buzzernya. Mereka seakan mencabut seluruh unsur “kemanusiaan” ke sosok yang mereka dukung.
Masalah pun bisa muncul dari strategi ini. Mereka seakan memakai narasi Agama untuk “mencuci” sisi jahat atau keburukan sang calon. Di sini kita tidak akan melihat sosok calon yang mereka dukung seakan tak ada cacat, sehingga mengajukan kritik atau keberatan atas kampanye sang calon pun terjebak di posisi yang tak kalah dilematis.
***
Sebagaimana saya sebut di atas, kelompok Islamis di Pilpres kali ini tidak terpusat pada satu paslon saja. Para Influencer dan BuzzerIslamis pun turut terlibat aktif dalam proses kampanye Pilpres hari ini. Menariknya, taktik atau strategi mereka tak berbeda jauh dengan
Buktinya, salah satu konten di salah satu kanal Youtube, Haikal Hassan ditanyai oleh influencer Islamis lainnya, tentang “bantuan” salah satu Hakim MK, Anwar Usman, kepada Gibran sehingga bisa mencalon sebagai wakil presiden RI kali ini. Dengan sigap, Babe Haikal, begitu sapaan akrab beliau, menggeser perbincangan kepada pribadi sang hakim.
“Ini orang (Anwar Usman) jujur banget” ujar Haikal. Sosok Anwar Usman pun digambarkan sebagai orang yang berintegritas, dengan cerita bahwa beliau tidak membicarakan kasus hukum atau memberikan bantuan kepada teman-temannya yang sedang berurusan dengan hukum. Di sini kita bisa melihat bagaimana keputusan MK yang bermasalah “dicuci” dengan menonjolkan sosok yang dilabeli dengan beragam sifat-sifat mulia.
Sebaliknya, putusan MKMK telah berbicara putusan yang telah menguntungak Gibran tersebut bermasalah dalam prosesnya. Sehingga, kritik dan protes yang disampaikan beragam elemen masyarakat lebih banyak pada proses pengambilan keputusan yang bermasalah, dan tidak menyerang sosok Anwar sebagai pribadi.
“Pembelaan” Haikal sebenarnya tidak menjawab kritik masyarakat. Dan pencalonan Gibran tidak bisa dilepaskan begitu saja pada proses bermasalah di MK. Influencer dan Buzzer Islamis, di mana Haikal termasuk di dalamnya, seharusnya tidak menggunakan nilai-nilai moral ditambah dengan narasi agama dalam “mencuci” proses yang bermasalah tersebut.
Mereka seharusnya tidak menggunakan agama untuk melegalkan apa yang telah jelas-jelas bermasalah, dalam hal ini putusan MK. Sebaliknya, Agama bisa menjadi kontrol pribadi-pribadi yang sedang berlaga dan terlibat dalam proses Pilpres ini, sebagaimana agama dalam kehidupan kita sehari-hari.
Agama tidak boleh jatuh menjadi unsur populis yang digunakan calon-calon yang terlibat di proses Pemilu dan Pilpres. Walaupun, kita semua mengetahui atau menyadari agama rentan sekali dipakai untuk calon-calon populis untuk “memproduksi” pemilih loyal dan menjadikan prosesnya murah, karena menumbuhkan loyalitas tanpa tanya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin
[ad_2]
Sumber : Islami.co