[ad_1]
Pernahkah anda mendengar istilah NATO (No Action, Talk Only), atau banyak bicara tetapi nol aksi? Ya, istilah tersebut biasanya disematkan kepada orang-orang yang memiliki banyak gagasan kreatif, namun enggan memperjuangkan dan merealisasikan gagasannya. Kalaupun mereka merealisasikan gagasannya, mereka akan layu sebelum berjuang. Saat ini, orang-orang semacam itu banyak dijumpai, utamanya di kalangan generasi muda. Generasi muda seperti itu yang disebut sebagai strawberry generation atau generasi stroberi.
Dalam bukunya, Prof. Rhenald Kasali mendefinisikan strawbery generation atau generasi stroberi ini sebagai generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Singkatnya, di satu sisi mereka kreatif dan inovatif. Namun, di sisi lain, mereka bermental manja. Mereka menginginkan perubahan, namun dengan menuntut jalan pintas. Mereka layakanya buah stroberi: indah dan menarik ketika dipandang, namun lembek dan rapuh ketika disentuh.
Faktor-faktor Penyebab
Lebih lanjut, Rhenald Kasali menjelaskan bahwa adanya fenomena strawberry generation ini disebabkan oleh beberpa faktor.
Pertama, Self diagnose atau diagnosa diri tanpa melibatkan ahli. Melimpahnya informasi yang beredar di sosial media membat generasi masa kini lebih banyak terpapar dan menyerap informasi layaknya spons yang menyerap air.
Dengan kata lain, generasi masa kini menyerap informasi apapun yang diterimanya, tanpa memilahnya terlebih dahulu. Kemudian, mereka mencoba mencocokkan informasi yang didapatkan dengan pengalaman pribadinya. Hal ini juga bisa menyebabkan seseorang menjadi berlebih-lebihan dalam memikirkan sesuatu (overthinking).
Kedua, pola pengasuhan orang tua. Pola pengasuhan anak dengan mengabulkan setiap permintaan yang mereka ajukan merupakan pola pengasuhan yang perlu dihindari. Pola pengasuhan seperti ini bisa membentuk mental manja pada diri anak.
Seharusnya, orang tua perlu sesekali menolak permintaan anak. Tujuannya untuk memberi pelajaran kepada mereka bahwa tidak semua hal yang diinginkan itu bisa tercapai. Sehingga, mereka terlatih untuk sabar dan lebih menghargai hal-hal yang dimiliki.
Selain itu, orang tua juga perlu menyediakan waktu bersama keluarga atau family time yang cukup dengan anak-anaknya. Sehingga mereka bisa mengawasi perkembangan anak-anak, mengapresiasi hal-hal baik yang mereka lakukan, dan memberi hukuman atas perbuatan buruk mereka. Anak pun menjadi tahu bahwa segala hal yang dilakukan memiliki konsekuensi, dan mereka menjadi lebih terlatih untuk bertanggung jawab.
Ekspektasi yang berlebihan dan tidak realistis (unrealistic expectation) juga menjadi pola pengasuhan yang membentuk mental lembek ala generasi stroberi. Hal ini biasanya dilakukan dengan memuji anak dengan berlebihan. Memuji anak tentu bukan hal yang buruk, namun, memuji anak dengan berlebihan hanya akan ‘membutakan’ anak dari fakta bahwa di luar sana masih banyak yang lebih hebat dari mereka. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah kecewa ketika berjumpa orang lain yang lebih hebat darinya.
Ketiga, label negatif dari orang tua. Hingga saat ini, masih ada orang tua yang dengan mudah melabeli anaknya dengan label negatif. Misalnya, melabeli anak dengan bodoh, nakal, dan semacamnya. Padahal, secara tidak disadari, perilaku seperti ini akan mengakibatkan anak akan percaya pada label yang diberikan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua seharusnya melabeli anak dengan label yang positif, karena hal itu sangat berpengaruh pada masa depan anak.
Mudahnya Generasi Muda Lari dari Kesulitan
Perlu diketahui oleh generasi muda bahwa kemenangan yang sebenarnya adalah ketika berhasil mengatasi kesulitan yang dihadapi. Lari dari kesulitan justru akan membuat kesulitan tersebut membesar dan makin sukar diselesaikan.
Dari perspektif psikologi, fenomena strawberry generation berkaitan erat dengan konsep resiliensi. Hendriani (2022) menyebutkan bahwa menurut Grotberg, resiliensi didefinisikan sebagai “kemampuan seseorang untuk bertahan dan beradaptasi.” Atau juga bisa didefinisikan sebagai “kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah setelah mengalami kesengsaraan.”
Reivich dan Shatte dalam Hendriani (2022) menjelaskan bahwa resiliensi ditandai dengan sejumlah karakteristik, seperti adanya kemampuan untuk menghadapi kesulitan, ketangguhan menghadapi stres, serta kemampuan untuk bangkit dari trauma yang dialami. Jika dikaitkan dengan fenomena strawberry generation, maka dapat ditarik benang merah bahwa fenomena itu ditandai dengan lemahnya resiliensi pada diri generasi muda.
Dalam Islam, generasi muda dipandang sebagai aset peradaban. Karena itu, generasi muda Islam seharusnya memiliki resiliensi yang kuat. Untuk menggapainya, mereka bisa berpedoman pada nilai-nilai yang diajarkan di dalam Al-Qur`an tentang cara atau langkah yang bisa diambil ketika menghadapi kesulitan dan problematika kehidupan.
Pedoman Al-Qur`an Ketika Menghadapi Kesulitan
Hemat penulis, ada 3 nilai di dalam Al-Qur`an yang bisa menjadi pedoman bagi generasi muda untuk membentuk resiliensi diri yang kuat dan tidak menjadi Strawberry Generation. Sehingga, mereka bisa menjadi generasi yang lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan dan problematika kehidupan. Antara lain:
Pertama, meyakini bahwa kesulitan hidup yang dihadapi tidaklah melebihi batas kemampuan dirinya. Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah [2] ayat 286 berikut
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut mennerangkan bentuk lemah lembut, kasih sayang dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Dia tidak akan membebani hamba-Nya dengan cobaan dan kesulitan hidup yang melebihi kesanggupannya.
Kedua, percaya dan yakin bahwa kesulitan hidup yang dihadapi akan tergantikan dengan kemudahan dan kesenangan. Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam Qs. Al-Insyirah [94] ayat 5-6 berikut.
(6) إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا (5) فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
Artinya: “(5) Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudaha. (6) Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.”
Ketiga, menjadikan sholat dan sabar sebagai penolong dalam menghadapi kesulitan dan problematika kehidupan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah [2] ayat 45 berikut:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya: “Dan jadikanlah salat dan sabar sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu, sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (QS. Al-Baqarah (2): 45).
Menurut Prof. M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, ayat ini merupakan perintah kepada orang yang beriman untuk mengukuhkan jiwanya dengan bersabar dan sholat untuk mengaitkan diri dengan Allah sembari memohon pertolongan-Nya saat menghadapi kesulitan dan beban hidup.
Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ash-shabr di dalam ayat ini mencakup banyak hal. Mulai dari sabar menghadapi ejekan dan rayuan, sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, sabar dalam menghadapi petaka dan kesulitan, serta sabar dalam berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa Al-Qur’an telah memberikan pedoman bagi umatnya, khususnya para generasi muda Islam, dalam menghadapi kesulitan dan problematika kehidupan. Dengan berpedoman pada ketiga nilai di atas, mental Strawberry Generation, yang berupa tingkat resiliensi diri yang lemah, bisa mereka atasi.
Sebagai penutup, ada sebuah pepatah Arab yang menunjukkan betapa krusialnya peran pemuda di tengah masyarakat.
إِنَّ فِي يَدِ الشُّبَّانِ أَمْرُ الأُمَّةِ وَ فِي إِقْدَامِهَا حَيَاتُهَا
Artinya: “Sesungguhnya urusan umat berada di tangan para pemuda dan kehidupan umat terdapat pada kemajuan pemudanya.”
[NH]
[ad_2]
Sumber : Islami.co