[ad_1]

Manusia dilahirkan di dunia tidak sendirian. Terdapat beberapa hal yang meliputi manusia di setiap kelahirannya. Dalam istilah Jawa, hal itu disebut sebagai sedulur papat (keluarga yang empat). Terminologi itu sangat masyhur di kalangan masyarakat Jawa muslim sampai hari ini sebagai unsur-unsur dasar pembentuk manusia.

Sejauh ini penjelasan mengenai sedulur papat memang beragam. Beberapa mengatakan jika hal itu hanya semacam kearifan yang dimiliki orang Jawa, yang lain justru mengatakan bahwa hal itu tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia keislaman. Bahkan, digolongkan sebagai syirik, khurofat, juga takhayul.

Dalam beberapa literatur Jawa-Islam gubahan para wali, juga pujangga Jawa muslim, pembahasan mengenai sedulur papat seringkali muncul meski dengan bentuk-bentuk yang berbeda. Sebelumnya patut diketahui, jika seluruh kepustakaan Jawa-Islam yang terletak di tiga perpustakaan di Jawa yang diwakili oleh kesulatanan dan kesunanan (termasuk perpustakaan Radya Pustaka di Solo) telah dibaca habis oleh Nency K. Florida dengan kesimpulan: dari 500 naskah, hanya 17 naskah yang tidak mengandung nilai Islam, selebihnya berlandaskan nilai Islam.

Pembahasan mengenai sedulur papat seringkali muncul ketika menyoal seputar makna diri sejati, atau proses menjawab pertanyaan “siapakah kita ini?” Sebuah pertanyaan filosofis sekaligus menjadi bagian penting dalam tasawuf yang didasarkan atas sabda nabi,

“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Rara Sukci dan Sebuah Kisah

Salah satu literatur Jawa-Islam yang memberikan penjelasan mengenai sedulur-papat adalah Serat Centhini. Sebuah serat yang digubah dalam 12 jilid buku oleh beberapa punjangga seperti Ranggasutresna dan Yasadipura II dan para kyai seperti Kyai Kasan Besari, Kyai Muhammad Ilhar, dan Kyai Muhammad Minhad.

Pada dasarnya, sedulur papat terdiri dari empat unsur pembentuk manusia yang selalu meliputinya. Empat unsur itu memiliki nama khusus dan perlambangan warna: mutmainah (putih), supiyah (kuning), lawwamah (hitam), dan amarah (merah). Ini menjadi sifat dasar yang harus dikelola dan dikontrol oleh setiap manusia bila ingin mencapai diri sejati.

Dalam Serat Centhini, penjelasan mengenai sifat empat manusia itu dijabarkan secara detail melalui sebuah cerita. Penjelasan itu diberikan oleh seorang pendeta atau ulama perempuan yang memilih untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, yakni Rara Sukci. Ia bercerita kepada dua tamu agungnya, Raden Jayengresmi dan Nyimas Rancakpati, dua adik tokoh utama serat itu, Syekh Among Raga, putra Sunan Giri Prapen di kediamanya yang indah “Asrama Wiku Suci.”

Rara Sukci bercerita mengenai sebuah pertempuran antar kerajaan. Pertempuran ini terjadi antara Raja Mutmainah bergerlar Prabu Jatmika (yang dijuluki sukma sejati/mulia) melawan kerajaan lain yang dipimpin oleh Raja Lawmamah beserta kedua adiknya Raja Amarah dan Ratu Supiyah.

Raja Mutmainah digambarkan sebagai sosok yang memiliki kekuasaan dengan sabar, tawakal, iman, dan berhati-hati. Sementara sosok Raja Lawmamah, Amarah, dan Ratu Supiyah digambarkan sebagai sosok yang penuh nafsu kotor. Tiga sosok itu berupaya untuk menaklukan kerajaan yang dipimpin Raja Mutmainah.

Peperangan terjadi di dalam hati sanubari manusia, tepatnya di kerajaan Mutmainah. Raja Lawwamah masuk melalui mulut, Raja Amarah melalui telingga, dan Ratu Supiyah melalui mata. Mereka bergerak masuk dengan bala tentaranya untuk mengepung kerajaan Mutmainah.

Mereka juga tak lupa membawa patih andalan mereka. Digambarkan setiap patih dan tentara mewakili sifat buruk dari manusia, seperti patih penggoda, pati tak punya malu, patih bencana, patih suka tidur, patih suka makan, patih penggoda laki-laki, patih dusta, dan patih-patih lain. Sementara Raja Mutmainah, membawa patih sabar, patih sabar, patih ikhlas, patih ketenangan, patih pengampun, dan patih lain yang menggambarkan sifat baik manusia.

Pertempuran pun terjadi dengan sengit. Tiga melawan satu. Mutmainah dikepung oleh tiga nafsu kotor. Setelah melalui proses yang panjang, Raja Mutmainah dapat menumbangkan musuh-musuhnya. Raja Lawwamah, Amarah, dan Ratu Supiyah tewas dan Raja Mutmainah menjadi penguasa tunggal hati sanubari.

Paska pertempuran selesai, Raja Mutmainah mendatangi kerajaan Lawmamah dan bertemu dengan putri Raja Lawwamah yang cantik. Raja Mutmainah jatuh hati dan berniat untuk meminangnya sebagai permaisuri. Sayangnya, tawaran itu ditolak dengan keras oleh sang putri karena Raja Mutmainah telah membunuh ayahnya. Lalu sang putri mencoba menantang dan mengajukan syarat kepada Raja Mutmainah: jika mampu menghidupkan kembali Lawwamah dan dua adiknya, maka ia bersedia dinikahi.

Atas izin Allah, ungkap Rara Sukci, Raja Mutmainah berhasil menghidupkan kembali tiga lawannya yang telah mati. Mereka dijadikan sebagai tawanan atau dipenjara dalam sel-sel sanubari dan kisah pun selesai.

Sedulur Papat: Sebuah Simbol Jihad

Kisah yang diceritakan Rara Sukci didasarkan, menurutnya, atas sebuah hadis yang bernama hadis “markum baslam.” Belum teridentifikasi mengenai rujukan asli hadis yang dimaksud (berapa peneliti telah berhasil mengidentifikasi beberapa rujukan-rujukan islam lain dalam serat ini) akan tetapi secara substansial memiliki kemiripan dengan beberapa pendapat ulama, salah satunya Imam Ghazali.

Sedulur papat adalah sebuah simbol jihad manusia jawa. Pertempuran hawa nafsu yang diceritakan oleh Rara Sukci adalah sebuah kiasan untuk memahami diri manusia melalui empat unsur dasarnya. Bahwa manusia harus bergulat melawan dirinya sendiri, mendukung mutmainah dalam dirinya melawan kepungan nafsu-nafsu kotor lain. Inilah pergulatan besar:  jihad besar setiap manusia.

Tujuanya tentu saja tidak untuk menghilangkan tiga nafsu kotor lain, melainkan untuk memenjarakannya. Unsur dasar itu memang tak bisa dihilangkan dan hanya bisa dipenjarakan, sebagaimana disampaikan oleh Maulana Rumi dalam Fihi Ma Fihi. Oleh karenanya, nafsu-nafsu itu disebut “sedulur” karena selalu melekat dan tak bisa dihilangkan dalam diri manusia.

Ketika manusia dapat menguasai empat sifat dasarnya dan mampu memenjarakan tiga nafsu kotor dalam dirinya, maka manusia akan mampu menjadi pusat semesta di dalam dirinya sendiri. Atau dalam istilah Sunan Kalijaga, mampu menjadi “pancer” (bagian dari: sedulur papat limo pancer). Manusia mampu menjadi “pancer” dari “sedulur papat.”

Dengan begitu, manusia akan menemukan sukma mulianya. Pada titik ini, manusia menjumpai apa yang oleh Sunan Kalijaga disebut pancamaya. Manusia menjadi pemenang dan akan menemukan diri sejatinya. Akhirnya manusia akan mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya. (AN)

[ad_2]

Sumber : Islami.co