[ad_1]
Wacana netralitas dalam kontestasi Pemilu 2024 di Indonesia agaknya semakin membingungkan. Pejabat pemerintahan, ASN, TNI, Polri, dan seperangkat instrumen negara lainnya kini telah kehilangan tauladan. Presiden Joko Widodo menyatakan (24/1/2024) seorang presiden saja boleh memihak dan berkampanye selama mengikuti aturan waktu kampanye dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Pernyataan itu seolah menasakh pernyataan sebelumnya ketika 1 November 2023 Jokowi menghimbau supaya segenap bawahannya memiliki komitmen netralitas di tahun politik 2024.
Tidak sedikit publik yang menilai Jokowi inkonsistensi. Lebih dari itu, banyak orang jadi kecewa. Jokowi dianggap telah melakukan kerja endorsement secara menor di tengah stagnasi elektabilitas Paslon Prabowo-Gibran.
Di level ini Presiden Jokowi sepertinya melupakan satu hal penting, bahwa segala hal yang dia katakan itu pasti melibatkan satu instrumen kekuasaan tak kasat mata bernama bahasa.
Para pemikir ilmu sosial mutakhir dari Michel Foucault, Norman Fairclough, hingga Rifqi Fairuz, bahkan menyebut “bahasa” itu tidak akan pernah netral.
Jadi, apa yang bisa diharapkan dari netralitas seorang petinggi negara, sementara himbauan netralitas itu terdistribusi melalui sesuatu yang di dalam dirinya sudah tidak netral?
Untuk sedikit mengatasi problem ketidaknetralan bahasa ini, sebetulnya ada sebuah perangkat yang cukup keramat bernama Critical Discourse Analysis. Salah satu tujuan dari software analisis ini adalah mengungkap ideologi dari sebuah ketidakberesan sosial yang bersembunyi di balik praktik kebahasaan.
Termasuk dalam hal ini adalah ketika Presiden Jokowi mengatakan:
“…Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting, waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara… Boleh. Kita ini kan pejabat publik, sekaligus pejabat politik. Masak gini nggak boleh, berpolitik nggak boleh. Itu saja. Yang mengatur itu hanya tidak boleh menggunakan fasilitas negara.”
Tapi apa yang tidak beres?
Mari kita mulai dari aspek yang paling mikro, yaitu analisis tekstual dari pernyataan Presiden Jokowi. Ini mengasumsikan sebuah teks tidak saja menunjukkan bagaimana suatu objek digambarkan, tetapi juga bagaimana hubungan antar-objek didefinisikan yang umumnya membawa muatan ideologi tertentu, karena teks meliputi representasi, relasi, dan identitas.
Dalam pernyataan yang akhirnya viral di media sosial, ada struktur objek kalimat yang (di)hilang(kan), terutama ketika Jokowi mengatakan “Presiden itu boleh loh memihak.”
Pemilihan diksi “memihak” sebetulnya patut dipertanyakan karena ia merupakan kata kerja transitif yang memerlukan objek. Ini akan beda cerita ketika, misalnya, yang digunakan jokowi adalah kata “keberpihakan” yang memiliki kedudukan sebagai kata benda atau noun sehingga tidak perlu objek kalimat.
Jadi, Jokowi pada dasarnya sedang melakukan politik tebak-tebakan (walaupun sudah pada tahu arahnya ke mana), apakah dia memihak salah satu paslon saja, memihak salah dua paslon, atau memihak ketiga paslon sekaligus.
Selain itu, kata “memihak” di dalam dirinya mengandung aspek relasi kekuasaan antara si pemihak sebagai powerful group dengan yang dipihak sebagai dominated group.
Yang juga menarik di sini adalah bagaimana Jokowi mengidentifikasi subjek tuturan dengan kata ganti “kita” yang memiliki identitas ganda sebagai “pejabat publik” sekaligus “pejabat politik”.
Di titik ini Jokowi mencerminkan kebiasaan orang Indonesia yang masih cukup sering terbolak-balik menggunakan kata ganti orang pertama, “kami” atau “kita”.
Antara keduanya, padahal, memiliki kontras makna kelewat curam. Kata ganti “kami” mengandaikan logika alienasi di mana audiens adalah out group, sedangkan kata “kita” adalah sebaliknya, lawan bicara termasuk in group.
Pertanyaannya, siapa/apa yang dimaksud dengan “kita” ketika Jokowi mengatakan “kita ini kan pejabat publik, sekaligus pejabat politik”?
Untuk menjawabnya, mari kita beralih ke dimensi selanjutnya, yaitu aspek meso dengan memusatkan perhatian pada dua sisi praktik kewacanaan: produksi teks dan konsumsi teks.
Karena Jokowi Presiden
Sebagai produsen teks, Jokowi dengan pernyataannya tentang “presiden boleh berkampanye dan memihak” pada dasarnya sedang menjawab pertanyaan wartawan dalam di Lanud Halim Perdanakusuma.
Tetapi di samping Jokowi rupanya ada Prabowo Subianto, Menhan sekaligus Capres nomor 02. Juga, ada Politisi Golkar Meutya Hafid dan sederet bapak-bapak militer lainnya.
Karena konsumen pertama (on the spot) dari pernyataan itu adalah jajaran wartawan, mestinya Jokowi sadar betul bahwa teks yang dia produksi akan menjadi konsumsi publik.
Terbukti, selain menjadi bahan pemberitaan berbagai platform surat kabar digital, pernyataan Jokowi juga menjadi percakapan warga, terutama di media sosial.
Salah satu akun media sosial yang cukup pagi mengunggah video pernyataan Jokowi adalah @narasinewsroom di instagram. Hingga artikel ini dibuat, postingan yang memuat pernyataan Jokowi itu telah mendapat 9.6 juta lebih penayangan, dengan 226 ribu komentar dan 38 ribu likes.
Jika dilihat lebih cermat lagi, klaim “kebolehan presiden kampanye atau memihak” dengan syarat “tidak boleh menggunakan fasilitas negara” hanya mungkin dilakukan Jokowi karena dia sekarang adalah presiden republik Indonesia.
Jadi, pernyataan Presiden Jokowi kali ini sebetulnya bisa dibaca dalam kapasitasnya sebagai seorang bapaknya Gibran yang ingin mempertahankan dominasi kekuasaannya, melalui bahasa.
Dengan kata lain, “wacana keberpihakan presiden” atau “presiden berkampanye” yang digulirkan Jokowi mustahil keluar 10 tahun lalu ketika dia dan partai pengusungnya menjadi oposisi pemerintah–walaupun partai (penguasa) Demokrat waktu itu pada akhirnya memilih non-blok karena merasa sulit menciptakan kader secemerlang Jokowi atau Prabowo yang bersaing di Pilpres 2014.
Lagi pula, pernyataan itu muncul dalam kurun jam kerja operasional seorang Presiden. Jokowi, dengan demikian, sedang menceramahi atau justru menelanjangi dirinya sendiri di depan kamera wartawan.
Tak butuh waktu lama setelah pernyataan Jokowi viral di media sosial, beragam komentar kritis pun tertuju kepada Presiden Jokowi. Sejauh penelusuran saya di akun instagram @narasinewsroom, komentar teratasnya ditempati oleh akun @s.kakung yang tidak lain dan tidak bukan adalah milik seorang ulama kharismatik, KH. Musthofa Bisri atau Gus Mus.
“Boleh tapi harus cuti. 😅”, tulis Gus Mus.
Di luar itu banyak juga akun yang membandingkan pernyataan Jokowi tempo hari dengan pernyataan Jokowi tempo bulan, bahkan tempo tahun.
[ad_2]
Sumber : Islami.co