[ad_1]
Baru-baru ini, Calon Wakil Presiden Mahfud MD mengkritik pernyataan bahwa pengadaan alutsista adalah rahasia negara. Mahfud MD menyatakan bahwa pengadaan alutsista harus dibuka ke publik. Sementara itu contoh urusan pertahanan yang menjadi rahasia negara jika terkait strategi dan informasi intelijen.
Seperti telah diketahui bersama Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden Republik Indonesia 2024-2029. Meski berpengalaman dalam Pemilu sejak 2009, kinerja Kemenhan tetap kepemimpinan Menhan Prabowo Subianto tetap mendapat beragam kritik. Tulisan ini mencoba merangkum dan mengulas kritik terhadap Kemenhan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.
Pembangunan Industri Militer
Indonesia memiliki dua perusahaan terdepan dalam industri militer dan penerbangan. Dua perusahaan itu adalah PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad.
Sayangnya, dua perusahaan ini tidak dapat berkembang optimal meskipun potensi untuk berkembang sangat besar.
Kedua perusahaan terhalang permodalan yang cukup. Sehingga tidak dapat memproduksi pesanan secara tepat waktu karena kapasitas produksi masih tergolong kecil. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat pengaruh Indonesia di dunia sebenarnya sedang dalam posisi yang baik.
Permasalahan Pengadaan Pesawat Interim Mirage 2000
Kedatangan 42 pesawat Rafale F4 buatan Dassault Aviation Prancis menjadi perbincangan hangat akan revolusi matra udara TNI AU. Namun, pengadaan alat utama sistem persenjataan tersebut menyimpan catatan.
Pengadaan sistem senjata baru seperti Rafale membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 2 tahun sampai 3-6 buah pesawat tiba dan 5 tahun sampai 42 pesawat siap digunakan. Juga membutuhkan familiarisasi sistim bagi pilot maupun kru. Disisi lain, dibutuhkan juga alutsista pengisi gap antara dipensiunkannya F-5 Tiger sembari menunggu kedatangan Rafale. Sehingga dibutuhkan pesawat interim yang ditunjuk Menhan, Mirage 2000-9 dari Uni Emirat Arab dan Mirage 2000-5 dari Qatar.
Tak ada yang salah pada kedua pesawat tersebut bila dibeli oleh Menhan 25 tahun yang lalu. Karena terdapat permasalahan yang timbul jika tetap dilakukan pembelian.
Pertama, kedua model pesawat tersebut betul mempunyai airframe yang cukup muda dan betul kondisinya masih gres. Namun, suku cadang kedua pesawat tersebut sudah tidak diproduksi. Biaya servis dan sparepart akan sangat mahal karena harus mencari di pihak ketiga. Hal ini tentu menurunkan tingkat kesiapan tempur.
Kedua, pesawat tersebut tidak dapat di-upgrade ke sistem persenjataan modern TNI AU. Sistem avionik, radar dan sensor masih menggunakan sistem tahun 1997. Berbeda dengan F-16 Indonesia yang dapat selalu di upgrade karena doktrin Amerika yang mengedepankan reabilitas alutsista. Mirage berbeda karena sudah tidak banyak negara yang memakainya dan pabrikan sudah fokus membangun Rafale. Bisa dibilang, pengadaan pesawat ini sia-sia.
Ketiga, menyalahi Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan. Dalam UU tersebut mewajibkan alutsista yang terkandung pembelian alutsista menyertakan imbal dagang, kandungan lokal, dan syarat lainnya. Disadur dari indomiliter.com, karena pembelian pesawat adalah bekas pakai, maka syarat tersebut tidak dapat ditunaikan. Tidak ada imbal dagang dan offset yang dapat mendukung pertahanan nasional.
Dan terakhir, isu bahwa harga pembelian melonjak (hyper-inflated) sehingga jauh melebihi harga wajar karena melalui pihak ketiga. Kedatangan Mirage pun tidak serta merta instan, dibutuhkan waktu 2-3 tahun. Waktu ini sama dengan kedatangan Rafale batch pertama.
Inflitrasi, Perang Urat Syaraf dan Serangan Siber
Perlu diketahui Indonesia pernah digegerkan oleh penemuan tiga kendaraan tanpa awak bawah laut Tiongkok pada tahun 2019 dan dua kasus di 2020. Drone tersebut tidak bersenjata, namun memiliki kemampuan strategis untuk memetakan permukaan bawah laut. Kasus tersebut memperlihatkan kurangnya pengawasan laut Indonesia. Beruntung penemuan tersebut dapat dideteksi, tidak terhitung aksi lain yang mungkin tidak sempat tercatat.
Sikap Indonesia juga tidak menunjukkan ketegasan akan insiden tersebut, mengesampingkan potensi konflik di Laut China Selatan yang semakin memanas. Manuver dan ancaman Tiongkok tidak hanya menuju Indonesia, Filipina beberapa waktu lalu mengalami insiden luar biasa. Saat konvoi kapal sipil diintimidasi kapal penjaga Pantai raksasa Tiongkok. Dalam hal ini sikap Filipina setidaknya cukup menjadi patokan di mana sikap Filipina tergolong keras terhadap China. Sikap semacam ini perlu diterapkan oleh Indonesia untuk menjaga kedaulatan wilayah.
Sementara itu, konflik Ukraina – Rusia memberikan permasalahan baru baik di negeri ini. Muncul banyak sekali akun-akun media sosial baik partisan berbayar maupun akun rekaan yang membanjiri publik dengan disinformasi dan propaganda. Harus kita sadari banyak disinformasi untuk menjustifikasi aksi Rusia menginvasi Ukraina.
Sangat janggal banyak akun juga menyebarkan konten pro-Soviet dan melabelkan Putin sebagai pemimpin sempurna. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi 10-15 tahun karena sentimen anti-komunisme. Perang urat syaraf juga terjadi pada akun-akun sejenis yang membela berbagai aksi Tiongkok dalam konflik di Asia. Hingga membela perilaku Tiongkok yang sempat membuatkan konflik dengan Indonesia atas pembelaan “pelindung dari imperialisme barat”.
Sementara itu perkembangan terkini terkait serangan siber memunculkan data yang cukup mengagetkan, Indonesia merupakan negara terbanyak kedua dunia dalam hal menerima serangan siber. Hal ini mengindikasikan betapa lemahnya pertahanan siber Indonesia terutama dalam menghadapi serangan dari luar negeri.
Fakta ini sangat menyedihkan, mengingat pertahanan siber ke dalam cenderung kuat. Jika ada kasus serangan siber maupun isu-isu viral, aparat segera menanggapi dan tidak jarang diancam dengan UU ITE. Padahal dari permasalahan yang sudah dijelaskan, Menhan agaknya abai dengan perpecahan akan intervensi siber dan propaganda asing.
Permasalahan Riset dan Produksi KF-21
Beberapa tahun lalu, penulis sangat antusias ketika mendengar kabar Indonesia akan memiliki pesawat tempur canggih karya anak bangsa. Hal ini terwujud dalam proyek KF-X/IF-X kerja sama Korea Selatan dan Indonesia. Meskipun kontribusi Indonesia hanya 20%, hal ini tetap merupakan kabar baik dan menjadi langkah untuk kemandirian militer di masa depan.
Ketika prototipe KF-21 Boramae sukses diujicoba, timbul permasalahan ke permukaan. Indonesia ternyata disebut terlambat melakukan pembayaran. Sehingga, Indonesia terancam tidak mendapatkan buah kerja sama dan anggaran yang selama ini telah dikeluarkan.
Lebih buruk lagi, permasalahan dalam sisi anggaran ini membuat Indonesia hanya terlibat dalam penelitian dan pengembangan tanpa mendapatkan unit pesawat kelak di masa depan. Meskipun hal ini merupakan permasalahan di anggaran yang melibatkan lintas kementerian, sudah sepatutnya urusan pertahanan dapat ditangani dengan baik oleh Kemenhan.
Food Estate
Penulis tidak akan banyak membahas kejanggalan dalam proyek ini, karena media telah banyak menyorot permasalahan food estate. Mulai dari pengadaan lahan, buruknya panen singkong, hingga penanaman jagung di polibag.
Meskipun pangan merupakan persoalan ketahanan, tetapi urusan pangan selayaknya tetap diurus kementerian/lembaga pemerintah lain sudah cukup lengkap dalam persoalan ketahanan pangan. Selain itu, terdapat beberapa isu ketahanan yang lebih prioritas dan terbukti dapat menimbulkan permasalahan geopolitik. Isu tersebut adalah ketahanan air.
Isu ketahanan air di Afrika Utara telah menyebabkan beberapa negara yang dilewati Sungai Nil mengalami peningkatan ketegangan. Selain itu, di Asia Tengah juga terjadi ekskalasi ketika Taliban Afghanistan mempersoalkan bendungan di Iran yang menyebabkan air ke Afghanistan terbatas. Di Indonesia sendiri masalah kekeringan terus muncul dan lebih parah saat fenomena El Nino terjadi.
Oleh sebab itu, kalaupun Kemenhan masuk ke dalam urusan ketahanan di luar militer, terdapat permaslahan air yang krusial untuk diselesaikan, alih-alih food estate yang bermasalah dan terus-menerus menjadi target kritikan publik.
Demikian lima kritik terhadap Kemenhan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Hal ini melengkapi kritik yang dilontarkan oleh Mahfud MD di awal, di mana Mahfud MD merupakan Cawapres yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan di era awal 2000-an.
Sebagai catatan, kritik ini bukan berarti Kemenhan tidak memiliki prestasi dan capaian. Melainkan menjadi bahan agar di masa mendatang lebih baik lagi, juga menjadi catatan untuk pesta demokrasi Pemilu 2024 yang akan segera berlangsung.
Oleh: Bima Aditya Fajrian[1] Aktivis media sosial. Pengamat militer amatir.
[ad_2]
Sumber : Islami.co