[ad_1]

loading…

Gratifikasi dalam pandangan Islam termasuk perkara yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW karena bisa mendorong kepada khianat. Foto/SINDOnews

Hukum gratifikasi menurut pandangan Islam penting diketahui kaum muslim terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai pejabat negara. Hadiah yang diberikan kepada seseorang disebabkan pekerjaan yang dia lakukan diistilahkan oleh ulama dengan hadiyyatul ummal atau hadiah pekerja.

Pada zaman modern ini dikenal dengan nama gratifikasi. Sebelum kita bahas gratifikasi dalam perspektif Islam, berikut pengertiannya secara luas. Gratifikasi adalah meliputi pemberian uang, barang, discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Mengutip laman Kemenkeu, gratifikasi terjadi apabila pihak pengguna layanan memberi sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran, transaksi atau deal untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Biasanya hanya memberikan tanpa ada maksud apapun.

Beda dengan suap, pengguna jasa menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar tujuannya tercapai. Sedangkan pemerasan (pungli) terjadi apabila petugas menawarkan atau meminta imbalan kepada penggunan layanan untuk membantu tujuan si pengguna meskipun melanggar prosedur.

Dalam Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 12B ayat (1) berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”

Pandangan Islam
Gratifikasi dalam pandangan Islam termasuk perkara yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW karena bisa mendorong kepada khianat. Untuk diketahui, Islam memang menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah sebagaimana sabda beliau dalam Hadis berikut:

Dari Abu Hurairah, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR Al-Bukhari)

Memberi hadiah hakikatnya dianjurkan dalam ranah sosial, tradisi, kekeluargaan dan agama. Akan tetapi, jika pemberian hadiah berkaitan dengan jabatan (pelaksanaan) tugas secara tegas dilarang agama sebagaimana dinyatakan dalam Hadits berikut:

هَدايا العُمّالِ غُلُولٌ

Artinya: “Hadiah bagi pekerja adalah ghulul (khianat).” (HR Ahmad No 23649)

Ustadz Fadly Gugul dalam Bimbingan Islam menceritakan, pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Kala itu beliau menugaskan seorang sahabat untuk menarik harta zakat, lalu saat bertugas sahabat ini diberikan hadiah oleh orang yang ditarik zakatnya, kemudian beliau pun berkata kepada Rasulullah ﷺ:

هَذا لَكُمْ وهَذا أُهْدِيَ لِي

Artinya: “Harta ini kuserahkan kepada engkau, sedangkan yang ini adalah hadiah untukku.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda:

فَهَلّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أبِيهِ أوْ بَيْتِ أُمِّهِ، فَيَنْظُرَ يُهْدى لَهُ أمْ لاَ؟ والَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَأْخُذُ أحَدٌ مِنهُ شَيْئًا إلّا جاءَ بِهِ يَووْمَ القِيامَةِ يَحْمِلُهُ عَلى رَقَبَتِهِ

Artinya: “Mengapa orang yang ditugaskan tersebut tidak duduk saja di rumah orang tuanya, lalu dilihat apakah hadiah tersebut akan datang kepadanya atau tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang mengambil sesuatu dari harta ini kecuali akan datang pada hari kiamat sambil membawa harta tersebut di lehernya.” (HR Al-Bukhari 2597)

Demikian pandangan Islam terkait gratifikasi. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala juga berfirman:

وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 188)

Wallahu A’lam

(rhs)

[ad_2]

Sumber Artikel KLIK DISINI