[ad_1]
loading…
Pada masa Arab Jahiliyah, seorang ayah bisa mewariskan istrinya kepada anak sulung. Foto/Ilustrasi: Ist
Dr Abdul Aziz MA dalam bukunya berjudul “Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam” menyebutkan perkawinan jenis ini disebut Zuwidj al-Magt atau Zuwdj al-Adhul.
Menurut suatu riwayat, Kinanah menikahi Birrah binti Murr, istri ayahnya, Khuzaimah. Juga Hasyim menikahi Waqidah, istri ayahnya, Abd Manaf.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul ” Umar bin Khattab ” juga mengungkap Zaid bin Amr , saudara sepupu Umar bin Khattab atau keponakan Khattab, ayah Umar, adalah putra hasil perkawinan anak dengan ibu tirinya.
Nasab beliau adalah Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay. Sedangkan Khattab bin Nufail pamannya dan sekaligus saudaranya dari pihak ibu, sebab perkawinan Nufail dengan Jaida’ yang kemudian melahirkan Khattab.
Menurut Haekal, setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida’. Dari perkawinan Amr dengan Jaida’ ini lahirlah Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan. Usia keduanya berdekatan.
Zaid bin ‘Amr hidup di zaman sebelum kenabian Muhammad. Tapi telah meninggalkan penyembahan berhala dan hanya memakan sesuatu yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Ia pengikut ajaran Nabi Ibrahim.
Zuwdj al-Bu’ilah
Abdul Aziz menjelaskan, orang Arab mengenal berbagai jenis perkawinan. Selain Zuwidj al-Magt atau Zuwdj al-Adhul, jenis yang sangat lazim adalah perkawinan biasa antara seorang pria dan seorang wanita yang dipinang melalui walinya dan dibayarkan maharnya saat akad perkawinan.
Menurut al-Alusi, kaum Quraisy melakukan perkawinan jenis ini. Dan karena Rasulullah SAW berasal dari suku Quraisy, Allah SWT memberi perlindungan kepada Rasulullah dari perkawinan tercela, walaupun populer juga di kalangan kaum Quraisy poligami antara seorang pria dengan banyak istri yang disebut Zuwdj al-Bu’ilah.
Walaupun menimbulkan kesusahan secara ekonomi bagi pelakunya, poligami tetap penting sebagai cara memperbanyak keturunan dan hubungan kekeluargaan di dalam kabilah maupun antarkabilah. Tetapi, monogami juga tetap berlangsung karena berbagai alasan, seperti ketidakmampuan ekonomi, keharusan memenuhi syarat-syarat yang istri pertama ajukan sebagai persetujuan atas perkawinan berikutnya, atau karena memang lebih senang memilih monogami.”
Ada pula Zuwdj al-Syiqhir. Menurut Abdul Aziz, artinya perkawinan tukar, yaitu ketika seorang pria menikahkan anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada seseorang dengan imbalan pria itu dapat menikahi anak perempuan atau saudara perempuan seseorang tersebut tanpa maskawin.
Selanjutnya ada lagi Zuwdj al-Rahthi atau Zuwij al-Musyirakah, yaitu perkawinan sejumlah (3-10) pria dengan seorang wanita. Manakala wanita itu hamil, dia berhak menunjuk siapa di antara sejumlah pria tersebut yang berhak menjadi ayah bagi anak yang dia lahirkan.
Menurut Abdul Aziz, varian lain dari jenis perkawinan ini yakni apabila pihak pria lebih dari sepuluh, jumlahnya sesuka wanita yang menjadi istri mereka. Wanita ini menancapkan bendera di depan pintu kemah atau tempat tinggalnya sebagai tanda siap menerima pria yang datang.
Ketika wanita itu melahirkan, diadakanlah penilaian siapakah di antara pria-pria tersebut yang lebih mirip dengan anak yang dia lahirkan. Kepada pria itulah anak tersebut dinisbahkan. Di antara yang terkenal dari wanita-wanita ini adalah Ummu Mahzul.
Selanjutnya, Zuwdj al-Istibdha’, yakni seorang suami menyuruh istrinya—sesudah haid—mendatangi seorang pria, biasanya pemimpin, untuk digauli agar memiliki keturunan karena si suami tak dapat memberi keturunan, atau agar memperoleh keturunan hebat. Si suami tidak menggauli istrinya hingga kelihatan tanda-tanda kehamilan dari pria lain tersebut.
Selain itu, ada juga Zuwdj al-Khudni, yaitu wanita mengambil pria lain sebagai gundiknya di samping suaminya sendiri dalam al-Qur’an disebut muttakhidzitu akhdin.
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI