[ad_1]
loading…
Letak keunggulan sistem Asyari atas lainnya ialah segi metodologinya. Foto/Ilustrasi: Dok. SINDOnews
Menurutnya, ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich, melainkan sekadar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder.
“Sebab bagi al-Asy’ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah , menurut makna harfiah atau literernya,” ujar Cak Nur dalam buku berjudul “Islam, Doktrin dan Peradaban“.
Oleh karena itu, menurut Cak Nur, kalaupun ia melakukan takwil, ia lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan metode takwili kaum Mu’tazili .
“Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy’ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaan paham Asy’ari hampir secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang,” jelas Cak Nur.
Menurut Cak Nur, meskipun begitu, inti pokok paham Asy’ari ialah Sunnisme . Hal ini ia kemukakan sendiri dalam bukunya yang sangat bagus dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin atau “Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang”.
Cak Nur menganggap ini adalah sebuah buku heresiografi (catatan tentang berbagai penyimpangan atau bid’ah) dalam Islam yang sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan kelengkapannya.
Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih dahulu al-Asy’ari menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti yang ada pada kaum Hanbali, kemudian mengakhirinya dengan penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya.
Sebelum kita mengutip pendapat atau paham Asy’ari, maka kita perlu tahu apa yang dimaksud paham tersebut. Disebut paham Asy’ari, kita maksudkan keseluruhan penjabaran simpul (‘aqidah) atau simpul-simpul (‘aqa’id) kepercayaan Islam dalam Ilmu Kalam yang bertitik tolak dari rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Beliau dari Basrah, Iraq, yang lahir pada 260 H/873 M dan wafat pada 324 H./935 M. Jadi dia tampil sekitar satu abad setelah Imam al-Syafi’i (wafat pada 204 H/819 M), atau setengah abad setelah al-Bukhari (wafat pada 256 H/870 M) dan hidup beberapa belas tahun sezaman dengan pembukuan hadis yang terakhir dari tokoh yang enam, yaitu al-Tirmidzi (wafat pada 279 H/892 M).
Dengan kata lain, al-Asy’ari tampil pada saat-saat konsolidasi paham Sunnah di bidang hukum atau fiqih, dengan pembukuan hadis yang menjadi bagian mutlaknya, telah mendekati penyelesaian. Dan penampilan al-Asy’ari membuat lengkap sudah konsolidasi paham Sunnah itu, yaitu dengan penalaran ortodoksnya di bidang keimanan atau akidah.
Keterangan al-Asy’ari
Selanjutnya Cak Nur mengutip beberapa persoalan mendasar dari keterangan al-Asy’ari sebagai berikut:
Keseluruhan yang dianut para pendukung Hadis dan Sunnah ialah: mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan semua yang datang dari sisi Allah dan yang dituturkan oleh para tokoh terpercaya berasal dari Rasulullah SAW, tanpa mereka menolak sedikit pun juga dari itu semua.
Dan Allah –Subhanahu– adalah Tuhan Yang Maha Esa, Unik (tanpa bandingan), tempat bergantung semua makhluk, tiada Tuhan selain Dia, tidak mengambil isteri, tidak juga anak; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa surga itu nyata, neraka itu nyata, dan hari kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah membangkitkan orang yang ada dalam kubur.
Dan bahwa Allah –subhanahu– ada di atas ‘Arasy (Singgasana), sebagaimana difirmankan (QS 20:5), “Dia Yang Maha Kasih, bertahta di atas Singgasana”; dan bahwa Dia mempunyai dua tangan tanpa bagaimana (bi la kayfa) sebagaimana difirmankan (QS, 37:75), “Aku menciptakan dengan kedua tangan-Ku”, dan juga firmanNya (QS, 5:64), “Bahkan kedua tangan-Nya itu terbuka lebar”; dan Dia itu mempunyai dua mata tanpa bagaimana, sebagaimana difirmankan (QS, 54:14), “Ia (kapal) itu berjalan dengan mata Kami”; dan Dia itu mempunyai wajah, sebagaimana difirmankan (QS, 55:27), “Dan tetap kekallah Wajah Tuhanmu Yang Maha Agung dan Maha Mulia.”
Dan nama-nama Allah itu tidak dapat dikatakan sebagai lain dari Allah sendiri seperti dikatakan oleh kaum Mu’tazilah dan Khawarij. Mereka (Ahl al-Sunnah) juga mengakui bahwa pada Allah –subhanahu– ada pengetahuan (‘ilm), sebagaimana difirmankan (QS, 4:166), “Diturunkan-Nya ia (al-Qur’an) dengan pengetahuanNya”, dan juga firman-Nya (QS, 35:11), “Dan tidaklah ia (wanita) mengandung (bayi) perempuan, juga tidak melahirkannya, kecuali dengan pengetahuan-Nya.”…
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI