[ad_1]

loading…

Yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam Al-Quran adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah. Foto/Ilustrasi: Ist

Sahabat Nabi, Abdullah bin Umar berkata: “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah.”

Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “ Wawasan al-Quran , Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2007) menyebut pendapat Ibnu Umar tersebut tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktik sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman , Ibnu Abbas , Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah.

Hal itu juga tidak sejalan dengan pendapat para pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:

1. Dalam sekian banyak ayat, Al-Qur’an menyebut istilah al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab , dengan menggunakan kata penghubung wauw yang berarti “dan.”

Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu.” ( QS Al-Baqarah [2] : 105).

Menurut Quraish, kata penghubung semacam ini mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian juga terlihat pada QS Al-Bayyinah [98] : 1 dan 6.

Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba’i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam Al-Qur’an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah .

2. Al-Qur’an sendiri telah menguraikan sekian banyak keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau bahwa Uzair demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas, Al-Qur’an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.

Al-Qur’an seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.

Atas dasar itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi’in, ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.

Quraish Shihab mengatakan dapat memahami pendapat tersebut dengan memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi dalam segala sikap dan tindakannya.

“Kehati-hatian dan kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang telah dianugerahkan Al-Qur’an,” ujarnya.

Di sisi lain, Quraish mengatakan dapat memahami juga seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar.

Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup atau agamanya.

Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.

Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati – untuk dibubarkan.

(mhy)

[ad_2]

Sumber Artikel KLIK DISINI