[ad_1]
loading…
Ganjar Pranowo dikenal dekat dengan alim ulama dan kiai terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Foto/MPI
Sebelum memasuki ruangan, Ganjar diberi sorban oleh pimpinan pondok pesantren Al Muhajirin, KH Abun Bunyamin. Selanjutnya mereka mengadakan pertemuan tertutup di rumah.
Lalu sebenarnya apa syarat menjadi ulama ? Mahmud Yunus dalam buku berjudul “Kamus Arab Indonesia” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al Quran, 1973) menjelaskan kata ulama berasal dari bahasa Arab علماء jamak dari mufrad (kata tunggal) alim ( عليم’) yang bearti orang yang berilmu atau orang yang berpengetahuan.
Kata عليم adalah isim yang diserupakan dengan isim fa’il, Kata عالم adalah isim fa’il dari fi‟il (kata kerja) (علم) alima yang berarti ia telah berilmu atau telah mengetahui. “Sedangkan kata ulama berarti orang-orang yang berilmu atau orang-orang yang mengetahui,” ujarnya.
Dalam konteks agama Islam, khususnya, istilah “alim” dan “ulama” sering digunakan untuk merujuk kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam ilmu agama, baik itu ilmu akidah, fiqih, tafsir, dan bidang studi keagamaan lainnya.
Dalam menentukan kriteria seorang ulama atau panutan dalam beragama dan berkehidupan, Kiai Ghufron selaku ulama dari NU menukil 4 poin penting Syekh Ibrahim Al Baijuri tentang syarat menjadi ulama.
Pertama, syarat menjadi ulama haruslah memiliki keahlian atau kepakaran dalam ilmu akidah. Seorang ulama seharusnya mampu menyampaikan pengetahuan tentang akidah, yakni konsep keesaan dan kesucian Allah SWT. Pemahaman yang mendalam tentang akidah menjadi dasar kuat dalam membimbing umat.
Kedua, syarat menjadi ulama juga diharapkan memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu syariat. Kemampuan ini memungkinkan ulama menjadi rujukan bagi umat, karena mereka menguasai berbagai aspek ilmu syariat seperti ushul fiqih, tafsir, dan sebagainya.
Dengan begitu, ulama dapat memberikan pandangan yang komprehensif terhadap hukum-hukum agama dan menjelaskan konsep-konsep yang mendasar.
Ketiga, syarat menjadi ulama diharapkan individu tersebut memiliki sikap dan tindakan yang terpuji, baik dalam konteks sosial maupun syariat.
Kiai Ghufron menegaskan bahwa jika seseorang yang disebut ulama memiliki ucapannya yang tidak terpuji, perilaku yang tidak terpuji, bahkan mengajak orang lain untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji menurut syariat atau tatanan sosial, maka orang tersebut tidak pantas dianggap sebagai ulama. Kriteria moral dan etika yang tinggi menjadi landasan penting bagi seorang ulama.
Keempat, seorang ulama harus mementingkan penggunaan akal sehat dalam melaksanakan ibadah-ibadah mahdoh kepada Allah maupun dalam konteks ibadah sosial. Ulama yang sejati harus memiliki ketakutan kepada Allah dan selalu bergantung pada-Nya.
Pemahaman akan keberadaan Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya memandu ulama untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur. Dengan demikian, seorang ulama sejati bukan hanya memiliki keahlian dalam ilmu agama, tetapi juga karakter yang kuat dan kesadaran spiritual yang mendalam.
Calon Presiden Ganjar Pranowo yang rajin sowan ke ulama jelas patut untuk diapresasiai, namun kita tetap harus memahami syarat menjadi ulama agar tidak tersesat dalam berilmu.
(mhy)
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI