[ad_1]
loading…
Nurcholish Madjid. Foto/Ilustrasi: Ist
Cendekiawan Muslim, Prof Dr. Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni .
“Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa ‘jalan keselamatan’ hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy’ari,” ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban”.
Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M).
Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy’ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia, al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya juga dipandang sebagai ‘jalan keselamatan’, bersama dengan sistem al-Asy’ari.
Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadis yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:
…Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku ‘aqa’ide Ahl al-Sunnah wa ‘l-Jama’ah Asy’ariyyah lan Maturidiyyah. [Lihat Hajj Muhammad Shalih ibn ‘Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid ‘ala Jawharat al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego]
(…Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah SAW, yaitu ‘aqa’id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa ‘l-Jama’ah Asy’ariyyah dan M’aturidiyyah).
Kehormatan besar yang diterima al-Asy’ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum “liberal” dari golongan Mu’tazilah dan kaum “konservatif” dari golongan Hadis (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh).
Menggunakan Senjata Lawan
Cak Nur mengatakan kesuksesan al-Asy’ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Muktazilah, al-Asy’ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan.
“Di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali,” ujar Cak Nur,
Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy’ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah.
Dengan maksud menengahi antara keduanya, kata Cak Nur, al-Asy’ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan).
Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain. Meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu.
Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:
Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa ‘l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la ‘khtiyara wa laysa kullan yaf’alu ‘khtiyara
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI