[ad_1]
loading…
Syaikh Muhammad Imarah. Foto/Ilustrasi: Ist
Muhammad Imarah dalam buku yang diterjemahkan Abdul Hayyie al Kattani berjudul “Islam dan Keamanan Sosial” (Gema Insani Press, 1999) menjelaskankata “istikhlaf” –dalam bahasa Arab– adalah bentuk mashdar. Maknanya adalah: menjadikan khalifah (pengganti), yang menggantikan dan menjalankan peran yang diamanatkan dalam kerangka istikhlaf itu.
Ia menjelaskan ketika Allah SWT hendak menciptakan Adam as , Allah memberitahukan kepada malaikat-malaikat-Nya bahwa Dia akan menjadikannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Yang bertugas untuk mengemban amanat ilmu, berusaha, menanggung beban dan responsibilitas, serta membangun bumi itu. Allah SWT berfirman kepada para malaikat, seperti tertulis dalam Al Quran:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [ QS Al Baqarah : 30].
Pemberian amanat kekhalifahan ini, yang dikehendaki oleh Allah SWT, kepada manusia di muka bumi, adalah ungkapan yang paling tepat dan paling cocok untuk menjelaskan tentang kedudukan manusia dalam wujud ini, tentang risalah manusia dalam kehidupan dunia ini, dan tentang tugas Tuhan yang diemban manusia dalam perjalanannya di muka bumi ini.
Seseorang yang memberikan suatu tugas perwakilan kepada orang lain untuk menjalankan sesuatu hal, tentulah ia perlu memberikan batasan tentang tugasnya itu, batasan wewenang yang ia emban, dan prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan sebagai batasan kebebasannya dalam menjalankan tugas itu.
Tugas kekhalifahan atau perwakilan yang diemban itu hanya bersifat perantara, tidak mencapai tingkat sang pemberi wewenang. Juga tidak sampai merendah hingga pada tingkatan seseorang yang tidak mempunyai kewenangan sama sekali dalam tugasnya itu.
Menurutnya, dengan pengertian kekhalifahan seperti inilah Islam melihat kedudukan manusia dalam wujud ini. Yaitu sebagai makhluk yang mengemban tugas kekhalifahan, yang mendapatkan wewenang untuk membangun bumi ini, dan yang mempunyai kehendak bebas untuk mengambil tindakan dalam batasan kewenangannya itu.
Karena dengan sifat kebebasan yang beraturan itulah manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini. Namun demikian, kehendak bebas dan inisiatifnya itu harus tunduk dengan aturan-aturan dan batasan-batasan kewenangan tugas kekhalifahan atau syari’ah Ilahiah itu. Yang menjadi rambu-rambu, aturan, batasan dan skup operasional tugas perwakilan dan amanah kekhalifahan itu.
Filsafat Materialis
Muhammad Imarah menjelaskan makna istikhlaf dan kedudukan khalifah (manusia) ini yang menjadi ciri filsafat pandangan Islam terhadap kedudukan manusia di alam semesta ini (yaitu sebagai pengemban tugas kekhalifahan dari Sang Pencipta semesta alam) adalah makna yang tidak dapat dicapai oleh filsafat-filsafat materialis dan peradaban-peradaban yang dibangun di atasnya.
Mengapa? Karena mereka menuhankan manusia, dan menjadikan para pahlawan mereka sebagai tuhan-tuhan. Atau mereka memanusiakan Tuhan, dan berpendapat bahwa Tuhan telah merasuk dan telah berfusi dalam diri manusia.
Orang-orang Yunani (dalam peradaban Yunani kuno) menjadikan pahlawan-pahlawan mereka, yang manusia itu, sebagai tuhan-tuhan. Ini adalah suatu tindakan menuhankan manusia.
Selanjutnya, kata Muhammad Imarah, saat orang-orang Romawi memeluk Kristen, mereka memasukkan pemahaman paganis ini ke dalam ajaran Kristen, sebagai ganti pentauhidan terhadap Sang Khaliq dan penyucian-Nya dari segala keserupaan terhadap alam.
Mereka menuhankan Isa bin Maryam as dengan alasan bahwa Lahut telah merasuk dalam Nasut (Tuhan telah berfusi dengan makhluk)! Dua sikap tadi (yaitu menuhankan manusia, atau memanusiakan Tuhan) amat berbeda jauh dengan filsafat kekhalifahan. Sehingga mereka menjadikan manusia sebagai pemilik mutlak semesta ini, bukan sebagai pengemban amanah kekhalifahan Tuhan di muka bumi ini.
Kesalahan dan penyelewengan terhadap filsafat kekhalifahan dan istikhlaf inilah yang menjadikan manusia peradaban materialis, baik pada era Yunani-Paganis, atau pada era Barat-Sekuler, mengumbar kebebasan kemanusiaan mereka dengan sebebas-bebasnya. Tanpa ada ikatan, batasan, atau ruang lingkup yang diberikan oleh hukum dari langit.
Jika filsafat kekhalifahan dan istikhlaf itu lenyap, lenyap pulalah ikatan, batasan, prinsip, serta sifat transaksasi dan pendelegasian kekhalifahan itu. Inilah yang menjadikan kebebasan manusia, dengan pengertian Barat, dan selanjutnya sistem demokrasi (dalam filsafat Barat) tidak patuh, dalam masalah-masalah keduniaan, dengan batasan-batasan halal dan haram yang diberikan oleh agama, untuk membatasi kebebasan manusia dan mengatur urusan-urusan duniawi mereka.
[ad_2]
Sumber Artikel KLIK DISINI