[ad_1]

Harakah.id Perempuan pertama yang menjadi pemimpin Aceh ialah Ratu Safiatuddin. Kepemimpinan Ratu Safiatuddin telah melahirkan paradigma dan nilai baru dalam kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam.

Perempuan Aceh dikenal dengan perempuan yang mandiri, semangat berjuang, pemberani dan tidak patah semangat. Sikap perempuan Aceh tergambarkan pada tokoh-tokoh kepemimpinan para pejuang perempuan di Aceh salah satunya; Cut Nyak Dhien, Pocut Baren, Kemalahayati, Cut Meurah, Cut Meutia, Teungku Fakinah, Puteri Lindung Bulan, Sultanah Safiatuddin, Sultanah Naqiatuddin, dan sebagainya.

Perempuan pertama menjadi pemimpin di Aceh ialah Ratu Safiatuddin. Kepemimpinan Ratu Safiatuddin telah melahirkan paradigma dan nilai baru terhadap kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam. Kebijakan-kebijakan Ratu Safiatuddin telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap perpolitikan di Aceh.

Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah ialah wanita yang pertama diangkat menjadi sultanah pada Kesultanan Aceh Darussalam yang memiliki nama asli Puteri Safiah. Ia merupakan anak sulung dari pasangan Sultan Iskandar Muda dan Puteri Sani Ratna Sendi Istana dan lahir pada tahun 1612. Ratu Safiatuddin tumbuh menjadi seorang perempuan yang berpengetahuan, cerdas, berkarakter, dan memiliki wajah yang rupawan. Selain itu, Ratu Safiatuddin juga gemar sekali kepada syair dan mengarang. Guru sajaknya Hamzah Fansuri, dan guru ilmu Fikihnya adalah Nuruddin ar-Raniry.

Puteri Safiah menikah dengan Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah dan merupakan Sultan Aceh yang menggantikan Sultan Iskandar Muda.  Kata “Tsani” diambil dari bahasa Arab yang bermakna “dua”. Setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641, para pembesar kerajaan mulai bersepakat bahwa yang menggantikan Sultan Iskandar Tsani adalah Puteri Safiah. Penobatan itu memiliki beberapa pergolakan dari beberapa kalangan yang akhirnya ulama karismatik Aceh Syeikh Abdurrauf As-Singkili menyarankan pemisahan antara urusan agama dan urusan pemerintahan.

Puteri Safiah memiliki gelar Sultanah Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat. Ia merupakan perempuan pertama yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Ratu Safiatuddin menguasai ilmu fiqih, sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, dan sastra. Ia juga mempelajari bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu dengan baik. Masa pemerintahannya selama 35 tahun, Ratu Safiatuddin memajukan sektor pendidikan, ekonomi dan kegamaan. Beberapa sektor yang diutamakan oleh Ratu Safiatuddin salah satunya;

Pendidikan

Sultanah Safiatuddin memotivasi para ulama dan cendikiawan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui penulisan dan penyebaran kitab-kitab agama. Para ulama juga didorong dalam penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu atau Jawi. Salah satunya kitab pertama yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu ialah “Anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil”.

Sebelum berdirinya Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, Ratu Safiatuddin telah mendirikan Universitas Baiturrahman di Banda Aceh yang memiliki beberapa fakultas seperti Fakultas Tafsir dan Hadits, Kedokteran dan Kimia, Sastra dan Sejarah, Sains, Ilmu Politik, Ilmu Eksakta, Pertanian, Hukum, Filsafat, Administrasi Negara, dan masih banyak lagi. Universitas didirikan bertujuan agar seluruh kalangan masyarakat baik perempuan maupun laki-laki mendapatkan haknya dan berpendidikan.

Kepemimpinan Sultanah Safiatuddin juga sangat mengedepankan dialog siapapun berhak menyuarakan pendapatnya. Ia juga mendorong para ulama-ulama untuk membuat dayah-dayah dan pesantren diberbagai tempat agar masyarakat dapat mempelajari ilmu agama dengan baik dan para ulama juga dapat menyebarluaskan ilmu yang mereka punya. Ulama-ulama mendapatkan hak istimewa dan perlindungan.

Kesetaraan Gender

Kepemimpinan Ratu Safiatuddin salah satunya memperbaiki status sosial kaum perempuan. Emansipasi Wanita mulai disuarakan, seperti perempuan dan laki-laki harus berpendidikan tinggi dan laki-laki dan perempuan sama-sama boleh bekerja. Ratu Safiatuddin memerintahkan Abdurrauf As-Singkili menulis kitab Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam yang menjelaskan perempuan menjadi hakim dan penguasa. Kitab Turjumah al-Mustafid, tafsir al-Qur’an yang berbahasa melayu. Ruang-ruang yang masih ambigu terhadap perempuan mulai didobrak oleh Ratu Safiatuddin. Ia banyak memberi ruang kepada perempuan untuk berkarya dan berpendidikan dan membolehkan posisi perempuan dalam pemerintahan baik legislatif dan eksekutif.

Ekonomi dan Politik

Sultanah Safiatuddin mengeluarkan mata uang emas dan menetapkan cukai bagi pedagang asing yang berdagang di Aceh. Beliau juga membentuk dua lembaga pemerintahan yaitu Balai Laksamana (Angkatan perang yang dketuai oleh Laksamana) dan Balai Fardah (Lembaga yang mengatur Keuangan kerajaan seperti pungutan cukai dan mengeluarkan mata uang). Sedangkan dalam bidang politik, Sultanah Safiatuddin merumuskan kembali Qanun Meukuta Alam atau sebutan lainnya Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam.

Sultanah Safiatuddin telah membawa Aceh ke zaman kejayaan dan seorang pemimpin yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Kepemimpinannya juga mmemperlihatkan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin yang ideal dan membawa masyarakatnya menjadi lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa wanita mampu menjadi pemimpin, pejuang dalam membangun negara, agama, dan isu-isu ketidakadilan sosial.

Sultanah Safiatuddin meninggal dunia pada 23 Oktober 1675. Namanya selalu dikenang dengan kebanggan bagi rakyat Aceh. Selain itu, namanya dikenang dengan adanya taman mininya Aceh yang dinamai Taman Sultanah Ratu Safiatuddin didedikasikan untuk menghargai jasa sang ratu. Taman ini disahkan oleh Gubernur Aceh kala itu, Abdullah Puteh yang terletak di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.

[ad_2]

Sumber Artikel KLIK DISINI