[ad_1]

YABAPIR Nyai Shalihah dikenal seorang aktivis perempuan yang aktif menyuarakan persamaan gender dan merupakan salah satu perempuan yang memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Berkembangnya teknologi saat ini salah satunya dapat mengembangkan sudut pandang yang lebih baik antara laki-laki dan perempuan. Masuknya perempuan dalam bidang politik kepemerintahan dapat mencairkan stigma dan stereotipe masyarakat bahwa perempuan tidak pantas berkarir dalam bidang politik.

Walaupun dalam lembaga legislatif perempuan masih menjadi minoritas. Perempuan-perempuan Indonesia kini sudah banyak yang merambas ke dunia politik demi memajukan negara salah satunya Nyai Shalihah Wahid Hasyim.

Nyai Hj. Shalihah Wahid Hasyim dilahirkan pada tanggal 11 Oktober 1922 di Pondok Pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur dan lahir dengan nama Munawwarah. Nyai merupakan anak anak dari KH. Bisri Syansuri dengan istrinya Hj. Nur Chadijah. Ayahnya merupakan ulama kharimastik yang menjadi salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dan merupakan pendiri pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif, Jombang yang lebih dikenal dengan sebutan pesantren Denanyar.

Masa sebelum datangnya kemerdekaan Indonesia, tradisi saling menjodohkan biasa terjadi dilingkungan sekitar termasuk lingkungan Nyai Shalihah. Ia dijodohkan dengan Abdurrahim putra KH. Cholil Singosari diusianya 14 tahun.

Namun, pernikahan tidak berlangsung lama karena suaminya meninggal dunia. Setelah kematian suaminya, Nyai dipinang oleh Wahid Hasyim pada usia 16 tahun. Wahid Hasyim merupakan anak dari KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan guru dari KH. Bisri Syansur.

Nyai Shalihah dikenal seorang aktivis perempuan yang aktif menyuarakan persamaan gender dan merupakan salah satu perempuan yang memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Nyai juga sangat aktif dalam organisasi kemasyarakatan sehingga kepribadiannya dikenal sebagai seorang yang humanis. Kecerdasan intelektualnya dan sikap berani menyuarakan pendapat membentuk Nyai menjadi seorang perempuan yang aktif, komunikatif, dan berani menjadi garda terdepan.

Pada masa revolusi, Nyai Shalihah Wahid Hasyim beserta santri perempuan berperan di dapur umum untuk menyiapkan makanan bagi para pejuang khususnya pejuang NU yang menjadi tentara. Selama menikah dengan Wahid Hasyim, Nyai tinggal di Pesantren Tebu Ireng kemudian menetap di Jakarta pada tahun 1949 saat Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia.

Sebagai seorang isteri Menteri Agama Republik Indonesia Nyai juga berpendapat dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang membangun untuk Negara Indonesia dan cakap berbicara dalam menyuarakan pendapat dan masukannya.

Kebahagiaan Nyai Wahid Hasyim tidak berlangsung lama, karena suaminya meninggal akibat kecelakaan pada tahun 1953 pernikahannya dikaruniai enam putra-putri. Saat usia 20 tahun, Nyai Wahid Hasyim aktif berorganisasi dalam Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) atau dikenal sebagai Muslimat NU. Nyai sering mengisi ceramah pada ibu-ibu Muslimat sehingga dalam lingkungan NU.

Shalihah Wahid Hasyim dikenal sebagai tokoh perekat dalam NU dikarenakan sosok beliau dapat memberikan perubahan yang baik dalam perjalanan Muslimat NU. Beliau mempertahankan dan memperjuangkan hak dan peran para wanita melalui organisasi Muslimat NU dan aktif sebagai pejuang kemerdekaan.

Shalihah Wahid Hasyim juga dikenal sebagai perempuan yang demokratis, mengedepankan musyawarah dalam sikap menghargai perbedaan pendapat. Sikapnya yang mengedepankan keseteraan antara kaum perempuan dan laki-laki tercermin saat perhatiannya yang begitu dalam akan hak dan peran perempuan.

Kemajuan perempuan dalam berbagai bidang merupakan cita-cita terbesarnya sehingga menciptakan negara yang berkualitas. Cita-citanya diwujudkan bersama tokoh lainnya dalam Muslimat NU seperti mengadakan program pelatihan kursus kader menerbitkan buku-buku, mengikuti kursus agama, mengikuti les bahasa Inggris serta bahasa Arab dan sebagainya sehingga membuat perempuan menjadi mandiri. Nyai Wahid Hasyim juga mengagas terbentuknya Yayasan Kesejahteraan Muslimat yang menangani masalah kesehatan bagi ibu dan anak.

Peningkatan kemajuan perempuan dalam Muslimat NU tidakhanya dalam bidang kesejahteraan sosial, beliau juga meningkatkannya pada bidang pendidikan, bidang agama dan dakwah. Pentingnya menuntut ilmu sealu digagas oleh Nyai Wahid Hasyim agar para perempuan tidak berhenti untuk belajar dan mengajar agar berguna bagi masyarakat.

Kedudukan Nyai Shalihah Wahid Hasyim menjadi sub pembangunan spiritual di dewan perlemen merupakan akses bagi beliau untuk memperjuangkan kaum para perempuan sehingga terbentuknya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 saat Nyai masih aktif di perpolitikan.

Dibalik perjuangannya KH. Abdul Wahid Hasyim adanya sosok wanita tangguh dibelakangnya yaitu Nyai Shalihah Wahid Hasyim. Nyai Shalihah Wahid Hasyim wafat pada tanggal 29 Juli 1994 di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Nama beliau diabadikan dalam nama Mesjid di Ciganjur, menjasi Mesjid al-Munawwarah. Perjuangannya dalam membesarkan Muslimat NU adalah sebuah perjalanan panjang hingga saat ini. Menjadi Single Parent tidak menyurutkan perjuangannya dan semangatnya dalam memajukan bangsa.

Keberhasilan anak-anaknya menjadi bukti nyata beliau telah berhasil menjadi seorang ibu dan pejuang bagi perempuan lainnya. Saat ini, Nyai Wahid Hasyim dikenang sebagai politisi yang kukuh pendirian dan memiliki pengabdian yang luar biasa dengan pemikirannya yang modern demi memajukan bangsa dan negara khususnya dalam mengangkat derajat para perempuan di Indonesia.

*Artikel ini merupakan hasil kerja sama Harakah.ID dengan Rumah KitaB dalam program Investing in Women untuk mendukung Muslimah bekerja.

[ad_2]

Sumber : Harakah.id